Sebagian ulama berpendapat bahwa komponen utama bagi agama Islam, sekaligus sebagai nilai tertinggi dari ajaran agama Islam adalah: akidah, syari’ah, dan akhlak. Penggolongan ini didasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad SAW kepada Malaikat Jibril mengenai arti Iman, Islam, dan Ihsan yang esensinya sama dengan akidah, syari’ah dan akhlak.
Akidah menurut pengertian etimologi, adalah ikatan atau sangkutan Muhaimin. dkk., 1994: 241). Dikatakan demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknis diartikan dengan iman atau keyakinan, sehingga pembahasan akidah selalu berhubungan dengan rukun iman yang menjadi asas seluruh ajaran Islam atau merupakan akidah Islam, yaitu; keyakinan kepada Allah, keyakinan kepada Malaikat-malaikat, keyakinan kepada Kitab Suci, keyakinan kepada Rasul-rasul, keyakinan akan adanya Hari Kiamat, dan keyakinan pada Qadla’ dan Qodar Allah.
Syari’ah menurut etimologi, adalah jalan tempat keluarnya air untuk minum (Fathurrahman Djamil,1997: 7). Menurut terminologi, syari’ah ialah sistem norma (kaidah) Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan sesama makhluk. Kaidah yang mengatur manusia dengan Allah disebut kaidah Ibadah atau kaidah Ubudiyah, sedang kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesama makhluk disebut kaidah Mu’amalah.
Sedang yang disebut dengan akhlak secara etimologi, perkataan akhlak berasal dari akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Abuddin Nata, 2002 : 3). Menurut terminologi, akhlak adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari padanya melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian.
Menurut Al-Ghozali dan Ibnu Maskawaih, akhlak adalah suatu keadaan atau bentuk jiwa yang tetap (konstan) yang melahirkan sikap atau perbuatan-perbuatan secara wajar tanpa didahului oleh proses berfikir atau rekayasa (Abuddin Nata, 2002 : 4). Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat dalam jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak kalau terpenuhinya beberapa syarat yaitu: 1) Perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, 2) perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dahulu sehingga benar-benar merupakan suatu kebiasaan.
Dalam ajaran Islam, perwujudan dari akhlak atau perilaku Muslim dapat terimplementasikan melalui aplikasi nilai/norma yang senantiasa mendasarkan pada ajaran-ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah (Busyairi Madjidi, 1997 : 870).
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat perbedaan antara akhlak dan nilai/norma yang berlaku di masyarakat. Nilai/norma adalah yang berlaku secara alamiah dalam masyarakat, dapat berubah menurut kesepakatan dan persetujuan dari masyarakat pada dimensi ruang dan waktu tertentu. Sedangkan ahklak memiliki patokan dan sumber yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga asas tersebut, membentuk sistem nilai yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup (akidah), jalan hidup (syari’ah), dan sikap hidup (akhlak), yang saling berinteralasi dalam mengatur kehidupan dan penghidupan manusia dalam semua aspek dan dimensi, baik individu maupun kelompok.
Oleh karena itu, sebagai parameter keimanan seseorang dapat dilihat dari kebagusan ibadah dan akhlaknya, demikian halnya untuk menilai kadar peribadatan seseorang dapat dilihat dari akidah yang melandasi dan aktualisasi nilai-nilai ibadah dalam praktek amal salehnya. Penilaian tersebut juga berlaku bagi akhlak seseorang, selain akhlak tidak dapat dipisahkan dengan akidah, akhlak juga tidak dapat diceraiberaikan dengan syari’ah.
Syari’ah memiliki lima kategori penilaian tentang perbuatan dan tingkah laku manusia, yang biasa disebut Al-ahkam Al-khamsah yang terdiri dari; 1) wajib, 2) haram, 3) sunnah, 4) makruh, dan 5) mubah atau ja’iz. Muhammad Daud Ali, mengkategorikan Al-ahkam tersebut sebagai berikut: wajib dan haram, masuk ke dalam kategori hukum (duniawi) yang terutama, sedangkan sunnah, makruh dan mubah termasuk ke dalam kategori kesusilaan atau akhlak. Sunnat dan makruh termasuk ke dalam kategori kesusilaan umum atau kesusilaan masyarakat sedangkan mubah termasuk ke dalam kategori kesusilaan pribadi (Muhammad Daud Ali, 2000 : 351).
Hubungan ini lebih nampak jika dihubungkan dengan ihsan dalam melakukan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah mu’amalah, pendekatan karena syari’ah atau hukum Islam mencakup segenap aktivitas manusia, maka ruang lingkup akhlak pun dalam Islam meliputi semua aktivitas manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.
Hirarki Nilai
Muhadjir (dalam Thoha, 1996 : 64) mengelompokkan nilai ke dalam dua jenis, yaitu; 1) Nilai Ilahiyah yang terdiri dari nilai ubudiyah dan mu’amalah, 2) Nilai Insaniyah yang terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomi, nilai politik dan nilai estetika. Nilai Ilahiyah ubudiyah ia letakkan pada posisi teratas, nilai Ilahiyah mu’amalah diletakkan pada posisi kedua, dan nilai etik insaniyah pada posisi berikutnya, sedangkan nilai rasional, nilai politik, nilai estetika sebagai bagian dari nilai etik insaniyah diposisikan pada posisi sejajar.
Gazalba (1978:498) memberikan penjelasan yang berbeda dengan penjelasan Muhadjir, ia membagi nilai ke dalam lima bagian sesuai dengan pendekatan hukum, yakni; 1) nilai-nilai yang wajib (paling baik), 2) nilai-nilai yang sunnah (baik), 3) nilai-nilai yang mubah (netral tidak bernilai), 4) nilai-nilai makruh (cela), 5) nilai-nilai yang haram (jelek), dan urutan nilai-nilai ini sekaligus menggambarkan hirarki nilai, dari yang tertinggi hingga nilai-nilai yang terendah.
Thoha (1996:68) mencoba mempertemukan hirarki yang telah dibuat oleh Muhadjir dengan Gazalba hingga menemukan tiga muamalah, yaitu; 1) wilayah pusat, 2) wilayah nilai-nilai Ilahiyah muamalah, dan 3) wilayah nilai-nilai insaniyah.
Wilayah pusat merupakan pusat nilai yang berisikan inti dari nilai-nilai Ilahiyah ubudiyah, yakni nilai-nilai keimanan kepada Tuhan. Nilai-nilai keimanan inilah yang berikutnya akan mewarnai nilai-nilai lainnya, seperti nilai-nilai Ilahiyah muamalah dan nilai-nilai estetika insaniyah. Wilayah nilai-nilai Ilahiyah muamalah adalah merupakan nilai-nilai terapan yang bersumber pada wahyu, sudah mulai jelas pembidangan aspek-aspek hidup yang meliputi: sosial, individual, biophisik, rasional, ekonomi, dan estetik. Sedangkan wilayah nilai-nilai insaniyah adalah wilayah nilai yang memuat tujuh nilai sebagaimana diungkapkan oleh Muhadjir.
Pembagian wilayah ini mensyaratkan adanya hubungan vertikal yang kokoh dari nilai-nilai insaniyah, nilai-nilai muamalah, hingga nilai-nilai pusat (keimanan), dengan demikian nilai-nilai insaniyah akan menemukan root valuesnya.
Jadi pengertian internalisasi nilai-nilai agama Islam adalah penghayatan atau pendalaman terhadap sesuatu yang abstrak, ideal dan menyangkut keyakinan terhadap yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang sesuai dengan akidah dan syari’at agama Islam.
Daftar Pustaka Klik DI SINI
Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Nilai Agama dan Hirarkinya"
Posting Komentar