Ace Suryadi (1996) mengemukakan bahwa tantangan mutu pendidikan masa depan terletak pada infrastruktur pendidikan yang merata dan masalah SDM. Dua hal tersebut secara realitas sampai sekarang masih juga menjadi kendala terhadap meningkatnya mutu pendidikan di sekolah-sekolah di negera Indonesia.
Banyak hal yang menjadikan mutu pendidikan rendah, salah satunya secara eksplisit dapat dicontohkan dengan masih rendahnya kompetensi pendidikan, terbatasnya sarana prasarana, kurangnya komunikasi dan kimitraan, kurang strateginya pengembangan dan optimalisasi implementasi program pendidikan yang dibuat sekolah, kurang efektifnya program pengawasan dan evaluasi yang dilakukan, karena tidak disertai tindak lanjut dan seterusnya.
Selain itu juga ada foktor lain yang terdapat pada program yang terlaksana namun menjadi penyebab rendahnya mutu seperti kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekan educational production function atau input-input analisis yang tidak konsisten. Yaitu terlalu memusatkan pada input tanpa memperhatikan proses, pada hal proses sangat menentukan output pendidikan, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, dan peranserta masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim, yang sering terjadi hanya pada aspek bantuan dana saja. Lembaga yang terpisah dari masyarakat akan ditinggalkan oleh masyarakat, karena itu masyarakat perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Hal senada juga dijelaskan oleh Hanafiah (1994) ada beberapa masalah lain yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan yaitu:
a) Sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang pemimpin maupun yang dipimpin. SDM yang bergerak karena perintah atasan, bukan karena rasa tanggungjawab. Sedangkan yang memimpin sebaliknya, tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang;
b) Tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai dengan peningkatan mutu;
c) Gaya kepemimpinan yang tidak mendukung. Pada umumnya pemimpin tidak menunjukkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberhasilan kerja stafnya. Hal ini menyebabkan staf bekerja tanpa motifasi;
d) Kurangnya rasa memiliki pada para pelaksana pendidikan. Perencanaan strategis yang kurang dipahami para pelaksana, dan komunikasi dialogis yang kurang terbuka. Prinsip melakukan sesuatu dengan benar dari awal pelaksanaan belum membudaya. Pengendalian dan perbaikan pada umumnya dilakukan bila sudah ada masalah yang timbul. Hal ini pun merupakan kendala yang cukup besar dalam peningkatan mutu.
Rujukan:
1. Ace Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rodda Karya, 1996), 174-175.
2. Hendyat Soetopo, et.al., Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 46.
3. M. Jusup Hanafiah, dkk, Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri, 1994), 8.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Faktor Rendahnya Mutu pendidikan"
Posting Komentar