Tipologi Pemikiran Integrasi Sains dan Agama
Ian G. Barbour dalam bukunya Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama mengatakan bahwa hubungan sains dan agama selama ini mengkonstruk dalam empat gubungan, yaitu: konflik, independensi, dialog dan integrasi (Barbour, 2005:12).
Dalam hubungan konflik, sains dan agama saling menegaskan kebenaran yang lain (kontradiktif). Contoh nyata dalam hal ini adalah terjadinya penghukuman terhadap Galileo Galilei yang diberikan Gereja Katolik pada abad ke-17. Namun, tidak semua ilmuwan berpandangan dengan sikap permusuhan seperti itu. Sebagian besar justru menganut pandangan independensi bahwa sains dan agama mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan satu sama lain. Agama dianggap sebagi nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dalam hubungan dialogis, sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan satu sama lain. Pendapat ini tercermin dari perkataan fisikawan beasr Albert Einstein, “Religion without science is blind, science without religion is lame”.
Dalam hubungan integratif, baik sain maupun agama menyadari akan adanya suatu wawasan yang lebih besar mencakup keduanya sehingga bisa bekerja sama secara aktif. Bahkan, sains bisa meningkatkan kenyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Pandangan integrative yang lebih fundamental atas pandangan pluralisme epistemologi postmodern baik sain maupun agama dapat bekerja sama karena keduanya merupakan interpretasi intersubyektif yang berbeda-beda pada pengalaman manusia, seperti halnya seni, sastra, maupun filsafat yang setarata satu sama lainnya (Barbour, 2005:12).
Berbicara tentang ide Islamisasi ilmu, dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, dia antaranya bisa disebut adalah : Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide Islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide Islamisasi ilmu masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh.
Akan tetapi, sejak abad 15 H tema ini telah menjadi tema sentral di kalangan cendikiawan Muslim. Ada tiga tanggapan ilmuwan muslim terhadap sains modern yang kemudian masing-masing pendapat ini akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula terhadap ide Islamisasi ilmu. Ziauddin Sardar mecatat ada tiga kelompok yang memandang sains modern kini. Pertama, kelompok muslim apologetik : kelompok ini menganggap sains modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan sains dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia saja maka pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam secara psikologis, bahwa umat Islam tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang mengakui sains Barat, tetapi berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan agar dapat menyaring elemen-elemen yang “tidak Islami”. Dan yang ketiga, kelompok yang percaya dengan adanya sains Islam dan berusaha membangun Islamisasi di seluruh elemen sains.
Kelompok pertama diwakili oleh Fazlur Rahman. Pemikir neo-modernis ini pernah tidak setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu. Baginya, yang perlu dilakukan adalah “menciptakan dan menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif dan positif”. Kelompok kedua diwakili oleh Naquib Al-Attas. Pada konfrensi dunia tentang pendidiakn muslim di Mekkah pada tahun 1977 Al-Attas mengemukakan gagasan tentang perlunya upaya Islamisasi ilmu (Shafie, 2005:69). Menurutnya, desekularisasi ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam, adalah strategi untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu. Desekularisasi berarti kita perlu membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu pengetahuan yang ada bisa benar-benar “Islami” (Shafie, 2005:70). Dan kelompok ketiga diwakili oleh Ismail Raji Al-Faruqi, dengan gagasan primernya “Islamization of Knowledge”. Menurutnya, pengetahuan-pengetahuan modern telah menyebabkan adanya pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, yang memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius (Shafie, 2005:73). Bagi Faruqi Islamisasi ilmu harus beranjak dari tauhid, dan selalu menekankan adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari obyektif yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.
Menurut Al-Faruqi, jalur-jalur mekanisme Islamisasi sains adalah : (1) penguasaan disiplin ilmu modern; (2) survai disiplin ilmu pengetahuan; (3) penguasaan khasanah Islam, sebuah ontologis; (4) penguasaan khasanah ilmiah Islami, tahap analisis; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan; (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; (7) penilaian kritis terhadap khasanah Islam; (8) Survai permasalahan yang dihadapi umat manusia; (10) analisis kritis dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, dan (12) penyebaran ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan. Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Al-Faruqi juga mencoba bersikap moderat terhadap ilmu-ilmu modern. Hanya saja, dia terkesan apologetik dengan berangkat dari universalisme Islam (tauhid) yang dimaknai secara literal dan terkesan agak memaksa lewat internalisasi nilai-nilai Islam.
Al-Faruqi tidak secara pasti mengatakan bahwa titik pijaknya adalah epistemologi Islam. Ia agak berbeda dengan Sardar dan Naquib Al-Attas, yang memandang perlunya untuk membangun konsep epistemologi Islam sebagai pandangan dunia (world view) Islam. Sardar (dalam Ali Noer Zaman, 2003:44-45) memandang bahwa ciri utama epistemologi Islam adalah: (1) didasarkan atas suatu pedoman mutlak; (2) epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif; (3) memandang objektivitas sebagai masalah umum; (4) sebagian besar bersifat deduktif; (5) memaduka pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6) memandang pengetahuan bersifat inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif; (8) perpaduan konsep tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif; (9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik. Dengan demikian epistemologi sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Agenda Islamisasi ilmu jangan sampai berangkat dari asumsi-asumsi ideologis bahwa Islam meliputi segalanya (universalisme semu), sehingga semuanya harus mengikuti apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Persoalannya, makna yang terkandung dalam Islam tidak lantas kita anggap final dan absolut. Sisi historisitas agama harus dieksplor lebih dalam lagi agar bisa didialogkan dengan realitas kekinian. Tradisi kritik epistemologis akan membuka ruang kritisisme terhadap pengetahuan yang sudah mapan, termasuk pula pemahaman mengenai agama. Menarik sekali jika kita baca bukunya Ali Harb Kritik Nalar Al-Qur’an (2003), yang menyatakan bahwa pengetahuan yang menghasilkan kebenaran tidak bisa bebas dari kritik. Kritik atas kritik kebenaran terus berlangsung karena memang tidak ada kebenaran yang absolute, termasuk kebenaran mengenai pengetahuan manusia.
Langkah yang sangat strategis adalah dengan membuat konsep yang utuh mengenai epistemologi Islamisasi ilmu, dan itu bisa dibuka melalui wacana kritik epistemologis. Pengetahuan Barat yang selama ini masih mendominasi harus selayaknya “dibongkar” agar bisa setara dengan pengetahuan di luarnya. Di tengah memudarnya pesona modernitas dan hancurnya sendi-sendi moralitas, gerakan Islamisasi ilmu bisa menjadi salah satu alternatif bagi upaya “penyembuhan” bagi kelemahan pengetahuan dunia selama ini.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tipologi Pemikiran Integrasi Sains dan Agama"
Posting Komentar