Persinggungan antara agama dan sains telah menunculkan perdebatan yang hangat dalam diskursus keilmuan kontemporer. Hal ini disebabkan karena kajian-kajian keagamana seringkali membawa “perseteruan” terhadap kajian-kajian sains. Agama sering diartikan sebagai bentuk kepedulian tertinggi (ultimate concern) atau sebagai cita rasa terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan misteri karena persinggungan manusia dengan agama selalu manimbulkan gejolak-gejolak bathiniah yang mampu memberiakn kepuasan yang tak terkira.
Begitu juga sains dengan keberhasilannya yang gemilang dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Terutama sejak renaissance, keberhasilannya telah menimbulkan gagasan yang mendua: antara harapan baru dan kehawatiran baru. Memunculkan harapan baru karena sains yang spektakuler akan mempercepat dan mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan kemajuan sains, manusia merasa tercukupi semua kebutuhan biologis-jasmaniahnya. Bahkan bisa jadi agama dianggap sebagai candu yang merantai manusia, seperti yang dikemukakan Karl Marx. Hal inilah yang merupakan kekhawatiran baru itu.
Menurut Rosyidi dan In’am Esha (2006:68) ada beberapa hal yang memicu timbulnya dikotomi keilmuan, yaitu:
Pertama, kesenjangan tentang sumber ilmu. Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan trasdisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran yang sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi. Karena mereka, satu-satunya sumber ilmu adalah pengamatan empiris melalui pesepsi inderawi seperti dalam pandangan positivisme.
Kedua, selain problem di atas, dikotomi keilmuan timbul berkenaan denagn obyek-obyek ilmu yang dianggp “sah” untuk sebuah disiplin ilmu. Sains modern telah menentukan bahwa obyek-obyek ilmu yang sah adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi atau dapat diamati oleh indra. Sedangkan para pendukung ilmu agama justru menganggap bahwa obyek-obyek non fisik, seperti Tuhan, malaikat ataupun jiwa sebagai obyek mulia yang pembahasan tentangnya dapat menguatkan dan meningkatkan status ilmiah bidang yang mempelajari obyek tersebut.
Ketiga, tataran metodologi ilmiah juga menyebabkan timbulnya dikotomi tersebut. Sains modern pada dasarnya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksprimen. Dipihak lain, kaum agamis tradisional telah mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari penggunaan pengamatan indera dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama. Materi-materi keagamaan dipahami secara turun temurun sebagai dogma yanmg mati, dengan menyingkirkan segala macam interpretasi baru yang dianggapnya sebagai did’ah, bukan berdasrkan argument rasional dan ilmiah.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Dasar Pemikiran Integrasi Sains dan Agama"
Posting Komentar