Kamis, 21 April 2011

Pengembangan Strategi Pembelajaran yang Inovatif


Untuk mencapai pembelajaran yang berkualitas/unggul, maka perlu dirancang strategi yang inovatif. Pembelajaran Unggul adalah proses belajar mengajar yang kembangkan dalam rangka membelajarkan semua siswa berdasarkan tingkat keunggulannya untuk menjadikannya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri namun dalam kebersamaan, mampu menghasilkan karya yang terbaik dalam menghadapi persaigan pasar bebas.

Merujuk pada konsepsi di atas, perlu ditegaskan bahwa pembelajaran unggulan bukanah pembelajaran yang secara khusus dirancang dan dikembangkan hanya untuk siswa yang unggul darisisi akademik semata, melainkan lebih merupakan pembelajaran yang secara metodologis maupun psikologis dapat membuat semua siswa mengalami belajar secara maksimal dengan memperhatikan kapasitasnya masing-masing.

Menurut Bafadhal ada tiga indikator pembelajaran unggulan. Pertama, pembelajaran unggulan apabila dapat melayani semua siswa (bukan hanya pada sebagian siswa). Kedua, dalam pembelajaran unggulan semua anak mendapatkankan pengalaman belajar semaksimal mungkin. Ketiga, walaupun semua siswa mendapatkan pengalaman belajar maksimal, prosesnya sangat bervariasi bergantung pada tingkat kemampuan anak yang bersangkutan. Dengan demikian, pembelajaran yang unggul berpusat pada siswa (student center).

Untuk menciptakan proses belajar yang unggul/ berkualitas dalam pembelajaran fullday, maka perlu dikembangkan strategi khusus yang membuat siswa termotivasi untuk belajar dan selalu merasakan kesenangan dalam belajarnya. Dalam mengembangkan strategi belajar yang demikian, siswa menjadi pusat perhatian utama.
Dewasa ini, pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center) lebih dikenal dengan istilah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensinya. Lebih dari itu, pembelajaran aktif memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi, seperti menganalisis dan mensintesis, serta melakukan penilaian terhadap berbagai peristiwa belajar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran aktif memiliki persamaan dengan model pembelajaran self discovery learning, yakni pembelajaran yang dilakukan pesereta didik untuk menanyakan kesimpulan sendiri sehingga dapat menjadikan nilai baru yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembelajaran aktif guru dapat memposisikan dirinya sebagai fasilisator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (to facilitate of learning) kepada peserta didik. Peserta didik terlibat secara aktif dan banyak berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak memberikan arahan, bimbingan, serta mengatur sirkulasi proses pembelajaran.

2) Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran kreatif mengharuskan guru dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas peserta didik selama pembelajaran berlangsung, dengan menggunakan beberapa metode atau strategi yang bervariasi misalnya kerja kelompok, bermain peran dan memecahkan masalah.

Pembelajaran kreatif menuntut guru untuk mampu merangsang kreativitas peserta didik, baik dalam mengembangkan kecakapan dalam berefikir maupun dalam melakukan suatu tindakan. Berfikir kreatif selalu dimulai dengan berfikir kritis, yakni menemukan dan melahirkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau memperbaiki sesuatu.
Berfikir kreatif harus dikembangkan dalam proses pembelajaran, agar peserta didik terbiasa dalam mengembangkan kreativitasnya. Sedangkan menurut Campbell, kreatif mengandung arti inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, dan mengejutkan. Selain itu kreatif adalah berguna, memiliki lebih baik, praktis, mempermudah, memperlancar, mengembangkan, mendidik memecahkan masalah, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik, dapat dimengerti.

3) Pembelajaran Efektif
Pembelajaran dapat dikatakan efektif jika mampu memberikan pengalaman baru, membentuk kompetensi peserta didik, serta mengantarkan mereka ketujuan yang ingin dicapai secara optimal. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan peserta didik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran, peserta didik harus melibatkan secara penuh agar bergairah dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran benar-benar kondusif dan terarah pada tujuan dan pembentukan kompetensi peserta didik.

Pembelajaran efektif menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif, karena mereka merupakan pusat kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Peserta didik harus didorong untuk menafsirkan informasi yang disajikan oleh guru sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pelaksanaannya, memelukan proses pertukaran pikiran, diskusi dan perdebatan dalam rangka pencapaian pemahaman yang sama terhadap materi standar.

Pembelajaran yang efektif harus ditunjang dengan lingkungan memadai, dari situ guru harus mampu mengelola tempat belajar dengan baik, mengelola peserta didik, mengelola kegiatan pembelajaran, mengelola isi atau materi pembelajaran dan mengelola sumber-sumber belajar seperti modul dan diktat.

4) Pembelajaran Menyenangkan
Pembelajaran menyenangkan (joy instruction) merupakan suatu proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat sebuah kohesi yang kuat antara pendidik dan peserta didik, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (not under pressure). Dengan kata lain, pembelajaran yang menyenangkan adalah adanya hubungan yang baik antara peserta didik dan pendidik dalam posisi pembelajaran. Guru memposisikan diri sebagai mitra belajar peserta didik dalam proses pembelajaran, bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan guru belajar dari peserta didiknya. Hal ini disebabkan karena pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh informasi lebih cepat dari pada gurunya. Sehingga dalam hal ini perlu diciptakan suasana yang demokratis, dan tidak ada beban baik bagi guru maupun bagi peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran.

Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan, guru harus mampu merancang pembelajaran yang baik, memilih materi yang tepat, serta memilih dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan peserta didik secara optimal.

Bambang Ari Sugianto, fasilitator Managing Basic Education Bahasa Inggris, menyatakan bahwa pembelajaran yang menyenangkan berarti siswa asyik terlibat dalam proses pembelajaran karena penugasan yang diberikan guru menantang, sesuai dengan kebutuhannya serta berada dalam dunianya. Di lain pihak siswa merasa nyaman karena tidak dimarahi atau dicemooh ketika siswa membuat kesalahan sehingga berani berbeda dan tidak takut membuat kesalahan terutama di dalam kelas.

Semua stretegi tersebut dirancang agar tujuan pendidikan khususnya pendidikan agama dapat dicapai secara optimal. Di saat pembelajaran PAI di sekolah umum dihadapkan pada berbagai problem seperti terbatasnya alokasi waktu, heterogennya pemahaman siswa tentang agama sampai pada immage yang miring tentang pelajaran agama, maka model pembelajaran PAKEM akan menjadi salah satu solusi efektif.

Lebih dari itu, menurut Muhaimin, pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius di sekolah dapat dilakukan melalui dua strategi, yaitu: bersifat vertikal dan horisontal.

Pertama, penciptaan budaya religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui peningkatan secara kuantitas maupun kualitas kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah yang bersifat ubudiyah, seperti: sholat berjamaah, puasa Senin Kamis, khotmul Qur’an, do’a bersama dan lain-lain.

Kedua, penciptaan budaya religius yang bersifat horizontal yaitu lebih mendudukkan sekolah sebagai institusi sosial religius, yang jika dilihat dari struktur hubungan antar manusianya, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hubungan yaitu: (1) hubungan atasan-bawahan, (2) hubungan profesional, (3) hubungan sederajat atau sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai religius, seperti: persaudaraan, kedermawanan, kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.

Pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah yang bersifat horizontal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas di sekolah. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.

Secara lebih terperinci, strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, menurut Muhaimin dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu:
Pertama, pendekatan struktural, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi komitmen dan kebijakan pimpinan sekolah, sehingga lahirnya berbagai peraturan atau kebijakan yang mendukung terhadap lahirnya berbagai kegiatan keagamaan di sekolah beserta berbagai sarana dan prasarana pendukungnya termasuk dari sisi pembiayaan. Dengan demikian pendekatan ini lebih bersifat “top down” yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari pejabat atau pimpinan sekolah.

Kedua, pendekatan formal, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah dilakukan melalui pengoptimalan kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran PAI di sekolah yang setiap minggu untuk sekolah negeri ditetapkan dua jam pelajaran. Dengan demikian, dalam pendekatan formal ini, guru PAI mempunyai peran yang lebih banyak dibanding guru-guru mata pelajaran yang lain. Karena bagaimana meningkatkan kualitas mutu pembelajaran PAI di kelas sepenuhnya merupakan tanggungjawab guru PAI termasuk kegiatan ko-kurikuler pendukungnya.

Ketiga, pendekatan mekanik, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen–elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi.

Pendekatan mekanik ini di sekolah dapat diwujudkan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan ekstrakurikuler bidang agama. Artinya dengan semakin menyemarakkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler bidang agama di sekolah, warga sekolah khususnya para siswa tidak hanya memahami PAI secara kurikuler di kelas saja, namun juga diwujudkan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang saling terintegrasi dengan kegiatan sekolah lainnya. Dalam pendekatan mekanik ini, pengurus OSIS khususnya bidang agama memiliki peran penting dalam pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah.

Keempat, pendekatan organik, yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem sekolah yang berusaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup, perilaku dan keterampilan hidup yang religius dari seluruh warga sekolah. Artinya strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi komitmen dan mendapat dukungan dari seluruh warga sekolah.

Sedangkan menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah, diantaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.

Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang sangat mendukung terhadap keberhasilan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu: pertama, kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap pengembangan PAI; kedua, keberhasilan kegiatan belajar mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama; ketiga, semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS khususnya Seksi Agama; dan keempat, dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan pengembangan PAI.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com
, http://grosirlaptop.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar