Suatu organisasi pasti tumbuh dalam lingkungan kerja tertentu. Lingkungan kerja pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan fisik berupa berbagai sarana dan prasarana yang menunjang pencapaian tujuan organisasi dan lingkungan non fisik berupa basic value atau nilai dasar yang dikembangkan pada suatu organisasi. Lingkungan kedua ini lazim disebut sebagai budaya organisasi.
a. Lingkungan fisik
Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik (student-centered activities) merupakan iklim yang dapat membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar siswa. Iklim belajar yang kondusif merupakan tulang punggung dan faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan dan pada akhirnya akan menghambat semangat dan motivasi siswa dalam belajar.
Iklim belajar yang kondusif harus ditunjang oleh berbagai fasilitas belajar yang menyenangkan seperti: sarana, laboratorium, pengaturan lingkungan, penampilan dan sikap guru, hubungan yang harmonis antara peserta didik dengan guru dan antara para peserta didik itu sendiri, serta penataan organisasi dan bahan pembelajaran secara tepat, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan peserta didik. Iklim belajar yang menyenangkan akan membangkitkan semangat dan menumbuhkan aktifitas serta kreativitas peserta didik.
Karena pengembangan KTSP menggunakan pendekatan kompetensi, dan berlandaskan aktivitas serta kemampuan berfikir peserta didik (student activity and thinking skill), pengembangan KTSP memerlukan ruangan yang fleksibel, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Luas ruangan dengan jumlah peserta didik juga perlu diperhatikan, bila pembelajaran dilakukan diruang tertutup; sedang ditempat terbuka perlu diperhatikan gangguan-gangguan yang datang dari lingkungan sekitar. Sarana dan media pembelajaran juga perlu diatur dan ditata sedemikian rupa, demikian halnya dengan penerangan jangan sampai mengganggu pandangan peserta didik.
Dalam pembelajaran PAI, tersedianya sarana prasarana yang memadahi mutlak diperlukan mengingat nilai-nilai agama bukanlan rentetan dari bahan ajar yang harus dihafal oleh siswa, tetapi lebih dari itu harus menjadi jiwa, sikap dan perilaku siswa sehari-hari. Dengan kata lain, nilai-nlai agama yang diajarkan harus dipraktikkan dalam tindakan nyata yang pada akhirnya membentuk satu budaya yaitu budaya religius sekolah.
b. Lingkungan Nonfisik
Jika ada program organisasi yang mengalami hambatan biasanya yang dijadikan kambing hitam adalah budaya. Dikatakan nilai-nilai yang menjadi muatan program belum membudaya. Atau budaya kerja pegawai (mental) yang ada dianggap sulit berubah. Jika ada nilai baru yang penerapannya memerlukan perubahan dan perubahan itu oleh penguasa dianggap dapat merugikan kepentingannya, maka yang dijadikan dasar penolakan terhadap nilai baru itu adalah budaya, dan lain sebagainya.
Demikian halnya, dalam suatu lembaga pendidikan, banyak program yang kurang terlaksana dengan baik karena belum adanya budaya yang kondusif. Cita-cita lembaga pendidikan untuk mewujudkan civitasnya sebagai masyarakat pembaca (learning society) kurang berhasil karena belum adanya budaya gemar membaca di kalangan sivitasnya.
Melalui budaya organisasi, pelbagai perbedaan individu dapat diramu dalam satu identitas yang sama. Untuk menumbuhkannya, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu:
1) Jealous- Limiting Mentality
Budaya jeles (cemburu, tertutup, selalu berburuk sangka) adalah sikap mental yang harus dieliminir dalam mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif. Budaya ini diwarnai sikap curiga terhadap orang lain. Mereka yang miliki budaya ini menganggap orang lain adalah saingan yang hanya memperkecil peluang dalam pekerjaan.
Dalam dunia pendidikan, sikap ini nampak pada tertutupnya proses transfer of knowledge and information. Kesempatan untuk naik jabatan misalnya, dipandang satu hal yang tidak perlu diketahui oleh pegawai lain karena dapat mengancam posisinya. Bagi pemimpin, semua ide harus selalu di-iya-kan bawahannya.
2) Generous-Growing Mentality
Generous diartikan dengan budaya terbuka, kebersamaan, selalu membutuhkan orang lain. Mereka sadar bahwa organisasi adalah kumpulan orang-orang yang satu sama lain harus saling membantu dan saling percaya. Budaya ini mendorong stiap pegawai untuk selalu bahagia dalam bekerja dan selalu melihat keberhasilan orang lain adalah suatu kebahagiaan dan kegagalan orang lain adalah suatu kesedian.
Dalam dunia pendidikan, budaya ini harus dikembangkan mengingat nilai kebersamaan, saling menolong, saling berbagi, dan saling percaya adalah nilai-nilai dasar yang senantisa dikembangkan. prestasi adalah hal yang penting, tetapi ada nilai-nilai tersebut harus selalu dikedepankan.
Dalam pengembangan KTSP, ada satu nilai/ sikap yang harus dimiliki oleh semua komponen pendidikan yaitu disiplin diri yang tinggi. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu membina disiplin peserta didik, terutama disiplin diri (self-discipline). Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan pola perilakunya dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin. Pembinaan disiplin perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demokratis sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut, yakni dari, oleh dan untuk pesera didik, sedangkan guru tut wuri handayani.
Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan dalam membina disiplin di sekolah, yaitu.
1) Konsep diri (self-concept), strategi ini menekankan bahwa konsep-konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah.
2) Keterampilan berkomunikasi (communication skills); guru harus memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
3) Klarifikasi nilai (values clarification); staregi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai yang dia terima dan membentuk sistem nilainya sendiri.
4) Analisis transaksional (transactional analysis); disarankan agar guru belajar sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
5) Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences); perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Hal ini mendorong munculnya perilaku-perilaku salah. Untuk itu guru disarankan: a) menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah, sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya, dan b) memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.
6) Terapi realitas (reality therapy); sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan bertanggung jawab.
7) Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan. Prinsip-prinsip modifikasi perilaku yang sistematik diimplikasikan di kelas, termasuk pemanfaatan papan tulis untuk menuliskan nama-nama peserta didik yang berperilaku menyimpang.
Berkaitan dengan hal di atas, maka iklim belajar yang kondusif antara lain dapat dikembangkan melalui berbagai layanan dan kegiatan sebagai berikut:
1) Menyediakan pilihan bagi peserta didik yang lambat maupun cepat dalam melakukan tugas pembelajaran. Pilihan dan pelayanan individual bagi peserta didik, terutama bagi mereka yang lambat belajar akan membangkitkan nafsu dan semangat belajar, sehingga membuat mereka betah belajar di sekolah.
2) Memberikan pembelajaran remedial bagi para peserta didik yang kurang berprestasi, atau berprestasi rendah. Dalam sistem pembelajaran klasikal, sebagian peserta didik akan sulit untuk mengikuti pembelajaran secara optimal, dan menuntut peran ekstra guru untuk memberikan pembelajaran remedial.
3) Mengembangkan organisasi kelas yang efektif, menarik, dan aman bagi perkembangan potensi seluruh peserta didik secara optimal. Termasuk dalam hal ini, adalah menyediakan bahan pembelajaran yang menarik dan menantang bagi peserta didik, serta pengelolaan kelas yang tepat, efektif, dan efisien.
4) Menciptakan kerjasama saling menghargai, baik antara peserta didik maupun antara peserta didik dengan guru dan pengelola pembelajaran lain.hal ini mengandung implikasi bahwa setiap peserta didik memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengemukakan pandangannya tanpa ada rasa takut mendapatkan sangsi atau dipermalukan.
5) Melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan belajar dan pembelajaran. Dalam hal ini, guru harus mampu memposisikan diri sebagai pembimbing dan manusia sumber. Sekali-kali, cobalah untuk melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan pembelajaran, agar mereka merasa bertanggung jawab terhadap pembelajaran yang dilaksanakan.
6) Mengembangkan proses pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama antara peserta didik dan guru, sehingga guru lebih banyak bertindak sebagai fasilisator dan sebagai sumber belajar.
7) Mengembangkan sisitem evaluasi belajar dan pembelajaran yang menekankan pada evaluasi diri sendiri (self evaluation). Dalam hal ini, guru sebagai fasilisator harus mampu membantu peserta didik untuk menilai bagaimana mereka memperoleh kemajuan dalam proses belajar yang dilaluinya.
Menurut Mulyasa, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para guru dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif antara lain:
1) Mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah melalui catatan kumulatif.
2) Mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas.
3) Mempertimbangkan lingkungan pembelajaran dan lingkungan peserta didik.
4) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele-tele.
5) Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan.
6) Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan teladan oleh peserta didik.
7) Berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan monoton sehingga membantu disiplin dan gairah belajar peserta didik.
8) Menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik, jangan memaksakan peserta didik sesuai dengan pemahaman guru atau mengukur peserta didik dari kemampuan gurunya
Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh peserta didik dan lingkungannya. Dengan pelayanan yang demikian, diharapkan akan tercipta iklim belajar dan pembelajaran yang nyaman, aman, tenang dan menyenangkan (joyfull teaching and learning), yang mampu menumbuhkan semangat, gairah, dan nafsu belajar peserta didik, sehingga dapat mengembangkan dirinya secar optimal.
Berbagai strategi belajar yang kondusif tersebut bila dapat diterapkan oleh para guru, khususnya guru agama maka proses pembelajaran akan berjalan efektif dan efisien. Dengan demikian, immage siswa yang semula menganggap pelajaran agama sebagai momok yang paling menakutkan akan berubah menjadi sesuatu yang disenangi.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar