Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam
Meskipun madrasah memiliki posisi dan kedudukan yang sama dengan sekolah umum, tetapi madrasah tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai sekolah Islam. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam dituntut untuk selalu mengadakan upaya-upaya pengembangan dengan konteks zamannya, terutama dalam menghadapi kebijakan pembangunan Nasional di bidang pendidikan yang menekankan pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan secara utuh, tidak parsial atau setengah-setengah, semuanya diorientasikan untuk menciptakan manusia yang berkualitas yang ditandai dengan kepemilikan dua kompetensi sekaligus, yaitu kompetensi bidang Iman dan Taqwa (IMTAQ)) dan kompetensi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Ciri khas yang masih dipertahankan oleh madrasah adalah berbentuk (1) mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama Islam, yaitu: al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan bahasa arab; (2) suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan; dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, disamping memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasar ketentuan yang berlaku.
Dengan ciri khas tersebut pendidikan madrasah dirancang dan diarahkan untuk membantu, membimbing, melatih serta mengajar dan/ atau menciptakan suasana agar para siswa (lulu sannya) menjadi manusia muslim yang berkualitas. Dalam arti mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup yang perspektif Islami dan kontek keindonesiaan. Makna pendidikan Islami sebagai aktivitas (formal dan non formal) dan sebagai fenomena peristiwa (informal) semuanya termuat dan perlu terkondisikan di madrasah.pemahaman manusia berkualitas dalam khazanah pemikiran Islam sering disebut sebagai insan kamil (Zarkowi Soejoeti, 1987), yang mempunyai sifat-sifat : manusia yang selaras : (jasmani-rohani, duniawi-ukhrawi), manusia nazhar dan I’tibar (kritis, berijtihad, dinamis, bersikap ilmiah dan berwawasan ke depan) serta manusia yang memakmurkan bumi.
Jika ditelaah lebih mendalam ciri khas agama Islam tersebut di atas, maka pada ciri khas yang pertama, mengandung makna bahwa pendidikan agama Islam di madrasah bukan hanya didekati secara keagamaan, tetapi juga didekati secara keilmuan. Pendekatan keagamaan mengasumsikan perlunya pembinaan dan pengembangan komitmen (pemihakan) terhadap ajaran agama Islam sebagai pandangan hidup muslim. Sedangkan pendekatan keilmuan mengasumsikan perlunya kajian kritis, rasional, obyektif-empirik dan universal terhadap masalah keagamaan Islam.
Kedua pendekatan tersebut akan sulit tercipta di madrasah bilamana tidak didukung oleh komitmen akademis-religius atau personal dan profesional religius dari para pengelola dan pembinanya. Bisa jadi pendekatan keilmuan akan tertindih oleh pendekatan keagamaan, sehingga penjabaran mata pelajaran pendidikan agama Islam ke dalam sub-sub mata pelajaran tersebut akan kehilangan makna. Jika demikian maka tidak ada bedanya antara pendidikan agama Islam yang dilakukan di madrasah dengan non madrasah, atau dengan di masyarakat atau di masjid dan mushalla, dan jika memang demikian adanya maka sebaiknya diserahkan saja pendidikan agama itu kepada masjid-masjid atau TPA-TPQ, majlis ta’lim di masjid, mushalla dan seterusnya. Atau sebaliknya bisa jadi pendekatan keagaman tertindih oleh pendekatan keilmuan, sehingga pendidikan agama Islam menjadi Islamologi yang hanya menekankan pada intelectual exercise dan suasana religius tidak tercapai di madrasah. Dengan demikian gagal menjadikan madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam.
Pada ciri khas yang kedua, mengandung makna perlunya penciptaan suasana religius di madrasah. Suasana religius bukan hanya bermakna simbolik seperti dalam berpakaian siswanya (puteri) memakai jilbab dan siswa putera memakai celana panjang, bila berjumpa dengan orang lain mengucapkan salam (assalamu’alaikum) dan seterusnya, tetapi lebih jauh dari itu berupa penanaman dan pengembangan nilai-nilai religius (keIslaman) pada setiap bidang pelajaran yang termuat dalam program pendidikannya. Konsekuensinya diperlukan guru-guru yang mampu mengintegrasikan wawasan imtaq dan iptek, diperlukan buku teks yang bernuansa religius dan bermuatan pesan-pesan agamis pada setiap bidang atau mata pelajaran yang diprogramkan.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar