Ada banyak, pendapat untuk mencirikan budaya suatu organisasi. Robbins (2003) mengemukakan tujuh karakteristik primer atau utama yang digunakan secara bersama untuk memahami hakikat dari suatu budaya organisasi. Ketujuh karakteristik primer tersebut meliputi:
1. Inovasi dan pengambilan resiko (innovation and risk taking).
Sejauhmana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko dalam melakukan tugas dan pekerjaannya.
2. Perhatian terhadap detail (attention to detail).
Sejauhmana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi ?ada hasil (outcome orientation).
Sejauhmana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4. Orientasi orang (people crientation).
Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi pada tim (team orientation).
Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu.
6. Agresivitas (aggresiveness).
Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai santai.
7. Kemantapan (stability).
Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
Setiap karakteristik tersebut berada pada bobot dari rendah ke tinggi. Oleh karenanya dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi itu. Gambaran itu menjadi dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, cara penyelesaian urusan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.
Para karyawan membentuk persepsi keseluruhan mengenai organisasi berdasarkan karakteristik budaya organisasi seperti yang telah diuraikan di atas. Persepsi karyawan mengenai realitas budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperi;aku, bukan mengenai realitas budaya organisasi itu sendiri. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung berbagai karakteristik organisasi tersebut kemudian mempengaruhi kinerja karyawan (Robbins, 2003).
Sedangkan Jakarta Consulting Group menggunakan sepuluh macam karakteristik budaya organisasi (Susanto A.B, 1997), yang meliputi:
1. Inisiatif Individu
Seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Meliputi derajat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dari masing-masing anggota organisasi. Seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam menjalankan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai kewenangannya dan seberapa luas kebebasan dalam mengambil keputusan.
2. Toleransi
Seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko di dalam pekerjaannya.
3. Pengarahan
Kejelasan organisasi dalam menentukan tujuan dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu.
4. Integrasi
Bagaimana unit-unit dalam organisasi didorong untuk melakukan kegiatannya dalam suatu koordinasi yang baik. Seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama ditekankan dalam pelaksanaan tugas. Seberapa dalam interdependensi antar sumber daya manusia.
5. Dukungan Manajemen
Seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
6. Pengawasan
Meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan.
7. Identitas
Pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh. Seberapa jauh loyalitas terhadap organisasi.
8. Sistem Penghargaan
Alokasi reward yang berdasarkan pada kriteria hasil kerja karyawan. Pada perusahaan yang sistem penghargaannya jelas, semuanya telah terstandarisasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
9. Toleransi Terhadap Konflik
Usaha mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. Dalam budaya perusahaan yang toleransi konfliknya tinggi, perdebatan dalam pertemuan adalah sesuatu yang wajar. Tetapi dalam perusahaan yang toleransi konfliknya rendah, SDM akan menghindari perdebatan dan menggerutu.
10. Pola Komunikasi
Komunikasi organisasi yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.
Selanjutnya, Susanto A.B (1997) memperkenalkan 2 macam budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi, yaitu budaya entrepreneur dan budaya administratif. Perusahaan yang memiliki budaya entrepreneur dalam setiap aktivitasnya selalu memfokuskan pada peluang-peluang baru. Tercermin dalam jiwa kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dari suatu periode ke periode berikutnya. Oleh karenanya kegiatan operasional di dalam perusahaan tipe ini cukup dinamis dan membutuhkan sumber daya manusia yang cukup cepat di dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Di samping itu perusahaan akan berusaha memenuhi sarana yang dibutuhkan untuk merealisasikan kegiatannya di dalam meraih keberhasilan dari peluang baru tersebut.
Sedangkan perusahaan yang memiliki budaya administratif sangat bertolak belakang dari budaya entreprenur, terlihat pada budaya administratif seluruh aktivitas yang dilakukan lebih memfokuskan pada peluang-peluang yang sudah ada. Sabah budaya ini memandang bahwa peluang yang diperoleh harus terus dipertahankan karena usaha untuk mendapatkan pekerjaan tersebut telah diinvestasikan dana yang cukup besar. Oleh karenanya dibutuhkan prosedur pengendalian yang cukup ketat untuk mempertahankan peluang yang sudah diperoleh. Dalam kegiatan pada budaya administratif ini, tingkat dinamika yang terjadi tidak terlalu tinggi seperti pada budaya entrepreneur.
Dalam artikelnya, Deshpande et al. (1993:25) memperkenalkan atribut budaya sebagai budaya Kompetitif (Competitive), Inovasi (innovative), Birokratis (Bureaucratic) dan Komunitas (community). Ukuran-ukuran budaya yang dikembangkan ini cukup ringkas, dapat diterapkan dan diterima praktisi serta respondent friendly. Bila dilihat lebih lanjut keempat atribut budaya tersebut memiliki kesamaan, dengan karakteristik yang disampaikan oleh Robbin (2003).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa budaya organisasi pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang ada di dalam hierarki organisasi, sehingga budaya organisasi tersebut sangat penting perannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi yang efektif. Lebih spesifik lagi, budaya organisasi dapat berperan dalam menciptakan jati mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi sekaligus menyajikan pedoman perilaku kerja.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Karakteristik Budaya Organisasi"
Posting Komentar