Minggu, 27 Maret 2011

Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis



Artikel pendidikan ini berusaha menjelaskan tentang  Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis. Diharapkan artikel pendidikan singkat ini memberi pemahaman tentang  Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian yang bertema  Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis.
--------------  

Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan fonologi (ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu). Fonologi merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari fungsi bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-Wasilah, 1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari pembentukan kata (Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa (Levinson, 1992), yakni hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya dalam suatu kalimat.

Semantik sebagai cabang ilmu bahasa memiliki hubungan yang erat dengan ketiga cabang ilmu bahasa di atas (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Ini berarti, bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh unsur bunyi (tekanan suara dan atau nada suara atau yang lebih umum adalah suprasegmental), bentukan kata (perubahan bentuk kata), maupun susunan kata dalam kalimat. Dengan demikian, tidak mungkin semantik dipisahkan dari cabang linguistik lainnya atau sebaliknya (Umar, 1982).
Perhatikan contoh berikut ini.

Contoh A. 1
(1) انت تكنس البلاط.
(2) انت تكنس البلاط؟

Apabila kalimat (1) dan (2) pada A.1 tersebut diungkapkan secara lisan dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna yang sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda, maka kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1) bernada informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada introgatif (bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang berbeda karena perbedaan nada.

Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada) mempengaruhi makna. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982) menyatakan bahwa tanghim (nada suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk kalimat (jumlah).

Contoh A.2
(1) غفر الله ذنوبنا
(2) استغفرنا الله
(3) جلس علي على الكرسي
(4) أجلس علي الطفل على الكرسي

Kata yang digarisbawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2) berasal dari akar kata yang sama, yaitu غ - ف - ر . Akan tetapi, setelah mengalami proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata pada kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa kita), sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith- thalab). Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ا- س - تpada awal kata mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti Kami (telah) meminta ampun kepada Allah.

Hal yang sama juga terjadi pada kata yang digarisbawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata yang sama (ج-ل-س).

Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digarisbawahi pada kalimat (3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4) disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti ‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.

Contoh A3
(1) الثعلب السريع البني كاد يقتنص الأرنب.
(2) الثعلب البني الذي كاد يقتنص الأرنب كان سريعا.
(3) الثعلب السريع الذي كاد يقتنص الأرنب كان بنيا.

Kalimat (1), (2), dan (3) pada contoh A3 di atas pada dasarnya memiliki pesan yang sama. Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang hampir menangkap kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya tidak sama, maka pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda (Umar, 1982). Pesan kalimat (1) pada contoh A3 lebih menekankan pada serigala yang cepat dan berwarna coklat (kecepatan berlari dan warna serigala), pesan kalimat (2) pada contoh A3 lebih menekankan identitas warna serigala (coklat), sedangkan pesan kalimat (3) lebih menekankan pada kecepatan lari serigala.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini.
Contoh A 4.

1. Orang tua itu putus asa dan bunuh diri.
2. Pemudah itu bekerja keras dan berhasil.
3. Orang tua itu bunuh diri karena dia putus asa.
4. Pemuda itu berhasil karena bekerja keras.

Kalimat (1) (3) dan (2) (4) pada contoh A4 pada dasarnya mempunyai pesan yang kurang lebih sama, yaitu hubungan sebab akibat (dua kluasa). Perbedaannya pada pengutamaan pesan yang dikandung oleh setiap klausa. Pesan yang ditekankan pada (1) adalah keputusasaan orang tua (klausa pertama sebagai klausa primer) yang merupakan sebab, sementara itu klausa “bunuh diri” sebagai klausa kedua (skunder) merupakan akibat. Dengan demikian, pesan yang ditekankan adalah sebab, bukan akibat. Sebaliknya, pesan yang ditekankan pada kalimat (3) adalah akibat, yakni bunuh diri, sedangkan klausa sebab merupakan klausa skunder. Hal yang sama juga terjadi pada kalimat (2) dan (4). Dengan demikian, urutan kata dalam suatu struktur kalimat mempengaruhi makna.

Semantik sebagai studi makna bukan saja berkaitan dengan cabang linguistik lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis), tetapi juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Disiplin ilmu yang dimaksud misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, dan filsafat. Antropologi berkepentingan di bidang semantik, antara lain karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Psikologi berhubungan erat dengan semantik, karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal. Sementara itu, filsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan makna tertentu dapat dijelaskan secara filosofis, misalnya makna ungkapan dan peribahasa (Djajasudarma, 1999).

Hubungan antara semantik dengan studi lainnya dapat ditampilkan pada diagram 01.














Diagram 01 Hubungan Semantik dengan Studi Lainnya.


--------------
Demikian artikel singkat tentang  Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis. semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang  Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis. Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, mohon kritik dan sarannya melalui komentar.

1 komentar: