Peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM), merupakan satu diantara dua isu besar yang mewarnai arah kebijakan pembangunan Bangsa Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua ini. Isu besar kedua adalah pengentasan kemiskinan (Uwes, 1999:v)
Banyak faktor dan kegiatan dalam peningkatan mutu SDM. Namun apapun faktor dan bentuk kegiatannya, dapat dipastikan terdapat di dalamnya upaya pendidikan. Pendidikan merupakan upaya strategis bagi peningkatan mutu SDM, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Sejak tahun 1960, Sekolah Guru B dihapuskan dan pendidikan guru untuk tingkat Sekolah Dasar masih tetap dilaksanakan oleh Sekolah Guru A kemudian berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan disusul dengan berdirinya sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Selanjutnya pada tahun 1990-an diintegrasikan ke dalam program Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) program diploma II/PGSD. Sedangkan pendidikan tenaga kependidikan sekolah menengah tetap dilaksanakan oleh IKIP dan FKIP di beberapa Universitas.
Pada permulaan diadakannya pendidikan guru pada tingkat Universitas, yaitu pada tahun 1954 dengan lima Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, perhatian pemerintah terhadap pendidikan guru cukup besar. Perhatian ini tidak sama pada saat PTPG berkembang yang kemudian menjadi IKIP pada tahun 1963. Pada tahun-tahun berikutnya perhatian terhadap pendidikan guru makin merosot yang dibarengi dengan penghasilan yang tidak menjanjikan.
Gejala kemunduran pendidikan guru mulai tampak setelah itu. Pada tingkat kebijaksanaan Pendidikan Tinggi, IKIP tidak mendapatkan tempat yang selayaknya dalam hehemoni perguruan tinggi dibanding dengan universitas. Di samping itu, kebijaksanaan pengembangan Pendidikan Tinggi yang menggunakan paradigma “trickle down effect” sangat merugikan LPTK, khususnya IKIP.
Kebijaksanaan pengembangan kurikulum LPTK pada tahun 1980-an juga ikut ambil dalam menurunkan mutu IKP. Kurikulum yang diadopsi dari praksis behaviorisme yang menjadi trend pada tahun 1970-an, yaitu competency based teacher education menjadi kebablasan. Sehingga kemampuan guru hanya dibentuk untuk dapat mengajarkan materi tertentu yang sudah diprogram kepada muridnya. Akibatnya proses belajar-mengajar di IKIP cenderung sama dengan yang terjadi di sekolah tempat mereka nantinya akan mengajar.
Kemampuan mahasiswa untuk mencari, berekspresimentasi, melakukan eksplorasi, dan berpetualangan dalam ilmu yang diketahui, baik dalam bidang studi maupun bidang ilmu pendidikan menjadi tidak termotivasi. Dengan kata lain, perhatian terhadap proses dalam tingkatan kognitif dan afektif yang lebih tinggi terabaikan. Karena semua pengalaman harus terukur, dapat diobservasi, dan dapat dikuantifikasikan. Reduksi pengalaman pendidikan guru yang demikian menjadikan calon guru berpikir dan berbuat secara mekanistik dan cenderung mementingkan penguasaan bahan ajar anak didik yang paling tinggi bersifat pemahaman saja.
Pada tahun 1990-an kritik-kritik terhadap kurangnya penguasaan bidang studi oleh calon guru di IKIP memuncak. Ironisnya, kebijaksanaan yang ditempuh oleh pengambil kebijaksanaan bukan memperbaiki sumber daya yang ada di IKIP. Akan tetapi menyerahkan pendidikan guru sebagian kepada perguruan tinggi besar yang dianggap menguasai ilmu non kependidikan dengan lebih baik. Kebijaksanaan ini kemudian tidak dilanjutkan setelah didapatkan bahwa guru yang hanya menguasai bidang ilmu yang diajarkan ternyata belum tentu dapat mengajar lebih baik.
Pada tahun-tahun itu pula mulai menghangat gagasan untuk mengubah IKIP menjadi Universitas. Supaya terjadi peningkatan mutu mulai perluasan pergaulan akademik dalam komunitas universitas. Disamping itu, kemajuan teknologi dan komunikasi yang amat cepat juga menimbulkan tuntutan baru kepada IKIP untuk melakukan tinjauan ulang. Ini perlu diperlukan karena tantangan yang dihadapi secara kualitatif sudah berbeda dibandingkan saat lembaga itu didirikan pada tahun 1964. Struktur universitas memungkinkan terjadinya interaksi akademik yang lebih luas dan fleksibel. Sehingga amat kondusif dimanfaatkan untuk memberikan sumbangan dalam pemecahan berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Ketepatan respons ini amat penting, mengingat kemajuan itu sendiri akan menimbulkan masalah ikutan lain yang makin kompleks dan akan lebih sukar diprediksi.
Keuntungan lain yang dipertimbangkan atas perubahan IKIP menjadi Universitas adalah dapat dimanfaatkannya kemampuan IKIP yang telah dikembangkan selama ini sebagai lembaga pendidikan tinggi, dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pendidikan tinggi sebagai suatu sistem. Dengan menawarkan program-program yang telah diperluas, universitas hasil transformasi itu akan dapat membantu mencapai sasaran utama pendidikan tinggi, tanpa menurunkan standar dan persyaratan kualitatif yang justru ingin ditingkatkan. Disamping itu, perubahan IKIP ini sekaligus untuk menjawab tantangan sistem pendidikan tinggi dalam peningkatan daya tampungnya.
Penegasan kualitas guru sebagai sesuatu yang harus mendapat perhatian semua pihak dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta memiliki kualitas sebagai tenaga pengajar (UU nomor 2 tahun 1989 pasal 28 ayat 2).
Kehidupan masyarakat modern ditandai oleh semakin profesionalnya tata kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat modern, profesi merupakan suatu bentuk spesialisasi pekerjaan yang menuntut kemampuan yang terus menerus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Oleh karena itu sebelum menyandang predikat guru, calon guru harus menjalani kerja magang pra jabatan guru agar dapat memberikan layanan profesional. Menurut Raka Joni dalam Soetjipto dan Kosasi (1999:223), tujuan pendidikan prajabatan guru adalah:
1. Dalam rangka penguasaan bahan ajar;
2. Dalam rangka penguasaan teori dan ketrampilan keguruan;
3. Dalam rangka pemilikan kemampuan memperagakan unjuk kerja;
4. Dalam rangka pemilikan sikap, nilai, dan kepribadian; serta
5. Dalam rangka pemilikan kemampuan melaksanakan tugas profesional lain dan tugas administratif rutin.
Ke depan, pendidikan guru harus menjamin terbentuknya guru profesional, kaya akan imajinasi, berkepribadian kokoh, dan dapat memotivasi muridnya untuk maju dan untuk terus belajar, baik selama di sekolah maupun sesudah mereka lulus. Pendidikan demikian dapat dilaksanakan melalui kebijaksanaan yang konsisten dibarengi evaluasi terencana yang dilakukan secara terus menerus, sehingga dapat dilakukan penyesuaian dan perbaikan.
Keadaan yang dilukiskan di atas mendorong usaha untuk menjawab pola dan memperjuangkan strategi dalam pendidikan guru yang dapat memenuhi kebutuhan masa depan. Usaha tersebut antara lain telah dilakukan para rektor Universitas eks IKIP serta rektor IKIP eks STKIP, yang telah menghasilkan dokumen Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Abad 21 (disingkat SPTK-21) yang memberikan platform untuk action dalam melakukan restrukturisasi pendidikan guru di Indonesia dengan isi pokok sebagai berikut :
1. Pendidikan guru harus didasarkan pada visi bahwa guru harus responsif terhadap tuntutan mutu yang selalu meningkat. Oleh karena itu LPTK harus dapat menghasilkan guru profesional yang handal dan responsif sesuai dengan tuntutan mutu, baik secara nasional maupun internasional. Selain menguasai bidang ilmu yang dianjurkan, guru juga harus mampu mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pendidikan, sehingga pelajaran yang diberikan dapat sekaligus mengembangkan aspek kepribadian muridnya.
2. Perkembangan ilmu dan praksis pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi. Oleh karena itu perlu menerapkan standar internasional, yang meliputi kelembagaan pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan.
3. Sesuai dengan tuntutan kebutuhan kualitas dan fleksbilitas kemampuan untuk menghadapi perkembangan masyarakat yang amat cepat, LPTK harus mampu menawarkan program-program yang fleksibel dan kaya, serta bermutu tinggi.
4. Dalam rancangan dan praksis kurikulum harus terjadi integrasi antara teori dan praktik yang menghasilkan pengalaman yang menyublim. Pengalaman kurikuler harus menantang terjadinya proses pemecahan masalah, proses kehidupan demokratis, mendorong terjadinya kreativitas, kemandirian kebangsaan dan keagamaan.
5. Lembaga pendidikan guru harus dibatasi kepada yang benar-benar dapat menjamin kualitas keluarannya. Oleh karena itu perlu dilakukan standarisasi proses dan hasil. Pemerintah berkewajiban memenuhi standar fasilitas yang memungkinkan terfasilitasinya pendidikan guru seperti yang dipersyaratkan. Sebaliknya pendidikan guru dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah, karena dampaknya terhadap warga negara. Hanya lembaga swasta yang sangat selektif dan memenuhi kriteria yang diperbolehkan menghasilkan guru.
6. Pelaksanaan pendidikan guru profesional harus ditunjang oleh manajemen yang profesional pula. Manajemen harus bermutu, efisien, inovatif, dan responsif terhadap tuntutan dan perkembangan profesi dan masyarakat. Manajemen juga harus mempunyai akuntabilitas yang tinggi dan memanfaatkan secara maksimal otonomi untuk meningkatkan mutu calon guru, meningkatkan produktivitas, dan layanan yang bermutu tinggi.
7. LPTK harus diberi wewenang yang luas dalam membuka dan menutup program studi. Kewenangan ini akan mendorong akuntabilitas dan merupakan debirokratisasi yang akan menghilangkan inefisiensi dalam pengelolaan LPTK.
8. Pengalaman lapangan merupakan bagian pendidikan calon guru yang sangat esensial. Perhatian serius, pengelolaan profesional, dan pembiayaan mesti dipenuhi agar pengalaman lapangan ini dapat membentuk secara efektif kepribadian dan kemampuan guru. Sekolah-sekolah latihan harus sekolah yang baik sehingga dapat diperoleh pengalaman yang baik pula. Kolaborasi antara sekolah dengan LPTK harus demikian erat, sehingga keduanya saling dapat memberikan pengalaman yang berharga dalam meningkatkan mutu pendidikan guru. Pada waktu PPL, calon siswa harus mendedikasikan penuh waktunya dan melakukan refleksi pengalaman yang nantinya dievaluasi secara mendalam setelah mereka kembali dari PPL dengan bantuan dosen.
9. Dosen dan tenaga penunjang pendidikan LPTK harus memiliki kualitas yang tinggi dan diangkat berdasarkan analisis kebutuhan yang akurat. Sementara itu sistem insentif mereka harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang peningkatan prestasi.
10. Setiap LPTK harus memiliki fasilitas proses belajar mengajar yang lengkap, fasilitas penunjang, dan fasilitas pembentukan kepribadian yang mantap. Kelas dasar dan kecil dengan segala peralatannya, laboratorium dan studio, workshop, perpustakaan, auditorium, galeri, pusat micro-teaching, teater, stadion adalah perangkat minimal fasilitas proses belajar mengajar berlangsung. Fasilitas penunjang seperti biro praktik profesi, pusat komputer dan sistem informasi, pusat layanan teknologi, berbagai pusat pengkajian dan penelitian. Fasilitas pengembangan kepribadian seperti asrama, student center, fasilitas ibadah, fasilitas pengembangan minat dan bakat mahasiswa, dan berbagai fasilitas kegiatan pengabdian pada masyarakat.
11. Untuk menjaga mutu pendidikan guru diperlukan sistem dan mekanisme kendali mutu yang diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com http://grosirlaptop.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian dan Konsep Pendidikan Guru"
Posting Komentar