Ketika masih berlangsung di langgar (Surau) atau masjid, kurikulum pengajian masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran Islam yang berupa iman, islam dan ihsan atau doktrin ritual dan mistik telah menjadi perhatian kyai perintis pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Tiga komponen dasar ajaran Islam tersebut disampaikan dalam bentuk yang paling mendasar, disesuaikan dengan tingkat intelektualitas masyarakat (santri) dan kualitas keberagamaannya pada waktu itu, yang kebanyakan dari masyarakat yang baru saja menjadi muslim atau baru saja memeluk Islam (Rahim, 2001: 145).
Peralihan dari pendidikan surau atau masjid menjadi pondok pesantren secara perlahan membawa perubahan perubahan-perubahan kurikulum. Dari sekedar pengetahuan menjadi suatu ilmu, dari materi yang bersifat dokrinal menjadi lebih interpretatif kendati dalam wilayah yang sangat terbatas. Ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren adalah nahwu dan sharaf, kemudian fiqih, tafsir, ilmu kalam, dan akhirnya sampai kepada tasawuf dan sebagainya (Yunus, 1985:232). Sistem pendidikan tidak didasarkan pada kurikulum yang dipergunakan secara luas, tetapi diserahkan pada persesuaian yang elastis antara kehendak kyai dan santrinya secara individual. Ilmu-ilmu dasar seperti tauhid, fiqih, dan tasawuf menjadi mata pelajaran paforit bagai para santri.
Kapasitas dan kecenderungan kyai merupakan faktor yang menentukan bagi pengembangan kurikulum tersebut (Qomar, tt: 110). Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren pada mulanya haruslah ilmu-ilmu yang telah dikuasai kyai dan telah menjadi kecenderungannya seperti ilmu tasawuf. Para kyai pada umumnya mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap tasawuf baik pada tataran amalan maupun keilmuan yang merupakan pewarisan terhadap sosok para wali. Bentuk-bentuk kehidupan sufistik yang dijalani kyai senantiasa dikaitkan dengan mata rantai transmisi ajaran wali.
Kurikulum pesantren terus berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu yang masih merupakan elemen dari materi yang diajarkan pada masa awal pertumbuhannya. Pengembangan kurikulum tersebut lebih bersifat rincian materi pelajaran yang sudah ada daripada penambahan disiplin ilmu yang baru sama sekali. Masing-masing pesantren memiliki kurikulumnya sendiri yang berbeda antara pesantren satu dengan yang lainnya. Upaya standarisasi kurikulum pesantren selalu berhadapan dengan otonomi pesantren sebagai pantulan dari otoritas kyai dan spesialisasi ilmu yang dimilikinya. Sebagian besar kalangan pesantren tidak setuju dengan standariasi kurikulum pesantren. Biarlah pesantren tetap dengan kekhususan-kekhususan mereka, sebab hal itu jauh lebih baik daripada harus disamakan. Sebaliknya variasi kurikulum pesantren justru diyakini lebih baik. Adanya variasi kurikulum pada pesantren akan menunjukkan ciri khas dan keunggulan masing-masing. Penyamaan kurikulum dipandang membelenggu kemampuan santri seperti pengalaman yang terjadi pada madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah. Lulusan madrasah ternyata hanya memiliki kemampuan yang setengah-setengah. (Qomar, tt: 112).
Jika pada awal pertumbuhan pesantren, tasawuf merupakan mata pelajaran yang dominan, pada akhir-akhir ini dominasi tasawuf telah melemah. Selanjutnya yang mendominasi kurikulum pesantren adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, kemudian ilmu fiqih, baik fiqih ‘ubudiyah maupun fiqih mu’amalah (Saridjo, 1982: 30). Dalam perkembangannya yang terakhir justru ilmu fiqh yang dominan dalam kurikulum pesantren (Wahid, Suwendi, dan Zuhri, 1999: 292). Sehubungan dengan hal tersebut, Mujamil Qomar dengan mengutip pernyataan Muhammad Tholchah Hasan menganjurkan agar pesantren menambah porsi kajian tafsir Al-Qur’an (khususnya ayat al-ahkam) dan hadits, selain kutub al-fiqh al-mu’tabarah, ushul al-fiqh, qawaid al-ahkam, dan tarikh tasyri’ sebagai perangkat keilmuan yang dapat mendinamisasi pemahaman fiqh sebagai produk ijtihad (Qomar, tt: 119).
Terkait dengan masuknya pelajaran umum ke dalam lingkungan pesantren, mulai pada awal abad ke 20 beberapa pesantren mulai bersikap progresif dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum. Salah satu pesantren yang mempelopori pembaharuan kurikulum tersebut adalah pesantren Tebuireng. Qomar dengan mengutip pernyataan Abubakar Aceh mengatakan bahwa pada tahun 1935 pesantren Tebuireng telah membuka madrasah modern secara basar-besaran yang dinamakan madrasah Nizhamiyah, suatu bentuk perguruan hasil karya A.Wahid Hasyim sendiri, dengan cara dan daftar pelajaran yang belum pernah terjadi dan belum pernah ada orang yang berani menciptakannya sebagai salah satu cabang pesantren. Di dalam madrasah tersebut selain pelajaran agama dan bahasa Arab, juga disajikan pengetahuan umum, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris, di mana ketiga mata pelajaran yang disebut terakhir masih dianggap alergi bagi kaum ulama (Qomar, tt: 131).
Pada awalnya Tebuireng memang hanya mementingkan pelajaran agama semata sebab pengajaran-pengajaran umum seperti bahasa-bahasa asing (selain bahasa Arab), belajar huruf latin, dan berhitung masih dianggap haram untuk diajarkan. Bahkan pada waktu itu, memakai bangku dan papan tulis ketika memberikan pelajaran sudah di anggap tidak sesuai dengan kehidupan agama. Pandangan semacam ini dilatarbelakangi semangat agama yang sangat menentang penjajahan (Saridjo, 1982: 114).
Sebagai pesantren terkemuka khususnya di Jawa dan Madura pada waktu itu, pembaharuan kurikulum di pesantren Tebuireng tersebut tentu saja mendapatkan banyak tantangan. Namun demikian secara perlahan-lahan pada akhirnya banyak diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Pada tahun 1980-an cukup banyak pesantren tradisional yang sudah memasukkan sistem madrasah dan ikut kurikulum pemerintah. Sekurang-kurangnya pesantren tersebut menambahkan pengetahuan umum seperti pelajaran PMP, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, IPS, dan Matematika (Said dan Affan, 1987: 103).
Memang titik pusat pengembangan keilmuan di pesantren adalah ilmu-ilmu agama, tetapi ilmu-ilmu agama ini tidak akan berkembang dengan baik tanpa ditunjang ilmu-ilmu lain (ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan kealaman). Oleh karena itu sebagian pesantren mengajarkan ilmu-ilmu tersebut sebagai penunjang ilmu-ilmu agama. Sekalipun demikian orientasi keilmuan pesantren tetap berpusat pada ilmu-ilmu agama (Daulay, 2001: 30). Sementara itu, ilmu-ilmu umum dipandang sebagai suatu kebutuhan atau tantangan. Tantangan untuk menguasai pengetahuan umum itu merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan pesantren.
Seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman tersebut. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Sementara itu, pesantren memiliki otoritas untuk menentukan kehidupannya sendiri. Sebagai akibatnya terjadilah polarisasi bentuk-bentuk pesantren dengan model sekaligus kurikulum yang berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Ada pesantren salaf yang mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik tanpa memngajarkan pengetahuan umum, ada pula pesantren khalaf yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, mengajarkan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dan juga pendidikan ketrampilan (Khozin, 2006: 101).
Lebih lanjut Khozin dalam bukunya Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia mengemukakan hasil penelitian Soedjoko Prasodjo tentang bentuk-bentuk pesantren dilihat dari perkembangan fisiknya yaitu: Pertama pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; Kedua pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, dan pondok; Ketiga pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah; Keempat pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tampat ketrampilan; Kelima pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, sekolah-sekolah umum, gedung pertemuan, tempat olah raga dan lain-lain (Khozin, 2006: 101-102).
Keragaman bentuk, pola, karakteristik, maupun tradisi pesantren menjadi alasan tidak adanya keseragaman kurikulum yang berlaku menyeluruh pada semua pesantren. Dengan otoritas kyai dan kemandiriannya, pesantren memiliki kebebasan penuh untuk menentukan bentuk, materi, sistem pendidikan, serta kurikulum yang diterapkan pada masing-masing pesantren. Sekalipun demikian, di antara perbedaan-perbedaan itu masih ada beberapa kesamaan, terutama dalam beberapa mata pelajaran keagamaan yang berlaku hampir di seluruh pondok pesantren.
Butuh Daftar Referensi Artikel Ini,
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com,
http://grosirlaptop.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Transformasi Kurikulum di Pesantren"
Posting Komentar