Madrasah telah mengalami tiga fase perkembangan sejak Indonesia merdeka (Daulay, 2004: 47-48). Fase pertama, madrasah periode pertama dibatasi dengan pengertian yang tertulis pada peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1950, bahwa madrasah mengandung makna:
a. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya.
b. Pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah.
Fase kedua, madrasah berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri 1975. Pada fase ini telah terjadi konentrasi keilmuannya dalam bidang agama, berubah menjadi konsentrasinya ada pengetahuan umum. Batasan madrasah SKB Tiga Menteri adalah “lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30 % di samping mata pelajaran umum”.
Dalam surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975 dicantumkan tujuan peningkatan adalah: (1) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas; (3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Fase ketiga, yang mana madrasah setelah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Madrasah disebutkan sebagai sekolah yang berciri khas Islam. Pengertiannya bahwa seluruh programnya sama dengan sekolah yang ditambah dengan mata pelajaran agama Islam sebagai ciri keislamannya.
Pada masa Orde Baru kurikulum madrasah diawali pada tanggal 10-20 Agustus 1970 pada pertemuan di Cibogo, Jawa Barat dalam rangka penyusunan kurikulum untuk semua tingkatan yang menghasilkan keputusan Menteri Agama Nomor 52 tahun 1971 yang kemudian melahirkan kurikulum madrasah 1975. Madrasah sebagai perpaduan antara pendidikan sistem pondok yang khusus mengajarkan agama Islam dengan sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Menurut surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tahun 1975, pasal 1 madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Setelah lahir SKB tiga menteri, Departemen Agama menyusun kurikulum madrasah dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama nomor 75 tanggal 29 Desember 1976 yang diberlakukan secara nasional mulai tahun 1978.
Kurikulum 1976 berisi tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, maka terlihatlah di lembaga ini program perimbangan antara ilmu-ilmu agama, alam, sosial dan humaniora. Kurikulum madrasah Aliyah terdiri dari Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Olahraga, Sejarah, Geografi, Ilmu Pasti, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi Koperasi, Menggambar, Bahasa Inggris, Pendidikan Ketrampilan Keluarga, Prakarya, Pengetahuan Dagang, Tata buku, Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Arab. Dengan program pengajaran yang dibuka adalah A-1 untuk ilmu-ilmu agama. A-2 untuk ilmu-ilmu Fisika, A-3 untuk ilmu–ilmu sosial, A-4 pengetahuan Budaya, dan program pilihan administrasi peradilan Agama.
Untuk kurikulum madrasah 1984 merupakan penyempurnaan dari kurikulum madrasah 1976 sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 101 tahun 1984 tentang kurikulum Madrasah Aliyah. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagaimana telah disebutkan penyusunan Kurikulum Madrasah 1984 berdasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yaitu antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) No. 0299/U/1984 dengan Menteri Agama (Menag) No. 045/1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah”, yang isinya antara lain : penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.
SKB dua Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di madrasah maupun di sekolah umum (Depag : 1999, 179). Susunan kurikulum Madrasah Aliyah 1984 terdiri dari Program Inti dan Program Pilihan. Program inti terdiri dari kelompok pendidikan agama yang mencakup lima mata pelajaran dan kelompok pendidikan dasar umum yang terdiri dari 19 mata pelajaran, sedangkan dalam Program Pilihan hanya memuat memberikan pendidikan pengembangan. Program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan peserta didik yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Kurikulum Madrasah Aliyah terdiri dari dua program pilihan, yaitu program pilihana A dan B sama dengan program pilihan pada kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun demikian terdapat perbedaan jenis program pilihan A dan B sebagai ciri sekolah agama. Stuktur kurikulumnya berbeda antara satu jurusan dengan jurusan yang lain. Program pilihan A terdiri dari lima pilihan jurusan :
1. A1 (ilmu-ilmu Agama)
2. A2 (ilmu-ilmu Fisika ) sama dengan SMA
3. A3 (ilmu-ilmu Biologi) sama dengan SMA
4. A4 (ilmu-ilmu Sosial) sama dengan SMA
5. A5 (Pengetahuan Budaya ) sama dengan SMA
Untuk Program pilihan B (Administrasi Peradilan Agama) baik di SMA maupun di Madrasah Aliyah berdasarkan kebijakan pemerintah tidak dilaksanakan sama sekali, karena membutuhkan biaya yang sangat besar di samping tenaga gurunya belum tersedia.
Kurikulum Madrasah Aliyah 1984 sendiri menggunakan istilah bidang studi untuk menyebut jenis pelaksanaan yang diajarkan. Kegiatan evaluasi perkembangan peserta didik dilakukan sebanyak tiga kali setahun (sistem catur wulan). Dalam kurikulum ini masih mengacu pada SKB tiga menteri yang mengatur perbandingan bidang studi agama dengan bidang studi umum sebanyak 30% dibanding 70%.
Dengan berlakunya UUSPN nomor 2 tahun 1989 beserta perangkat peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka pendidikan di madrasah banyak mengacu pada sistem pendidikan nasional, baik menyangkut satuan dan jenjang pendidikan maupun kurikulum pada masing-masing jenjang pendidikan. Pada pasal 37 UU No. 2 tahun 1989 dinyatakan bahwa :
“Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan, memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan”.
Pada bab I pasal 1 ayat 6 dinyatakan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berciri khas agama yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN) menyebutkan lembaga pendidikan Islam bernama lembaga pendidikan keagamaan yang bagi umat Islam berarti lembaga pendidikan keagamaan Islam. Namun istilah ini dipandang mempersempit makna lembaga dari lembaga tersebut. Untuk itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28/1990, Peraturan Pemerintah Nomor 29/1990 dan dipertegas oleh keputusan Mendikbud Nomor 0487/U/1992, Nomor 1489/1992 dan nomor 054/1993, istilah Madrasah Aliyah (MA) adalah sekolah menengah umum (SMU) yang berciri khas agama Islam, yang ditunjukkan dengan pengayaan bidang studi pendidikan agama dan pengembangan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.
Sejalan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989, madrasah harus menerapkan kurikulum nasional 1994 yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut madrasah pada dasarnya sepadan dengan sekolah umum dengan sedikit perbedaan, yaitu madrasah memberikan penekanan khusus pada mata pelajaran agama Islam. Selain itu Departemen Agama dengan bantuan para ahli pendidikan Islam berupaya memasukkan apa yang mereka sebut “nuansa Islam” dalam menulis buku-buku teks berkenaan dengan masing-masing mata pelajaran dalam kurikulum madrasah 1994.
Kurikulum Madrasah Aliyah 1994 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 tahun 1993 menyatakan, bahwa setiap madrasah pada masing-masing tingkat wajib melaksanakan kurikulum mata pelajaran yang disusun secara nasional. Dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri dari dua program pengajaran umum yang wajib diikuti oleh semua peserta didik kelas I dan II dan program khusus sebagaimana berlaku dalam SMU yang diselenggarakan di kelas III oleh peserta didik sesuai dengan kemampuan dan minat program.
Program pengajaran khusus, meliputi Program Bahasa, Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Program ini tersusun dua kelompok mata pelajaran yaitu mata pelajaran umum yakni mata pelajaran yang diberikan seluruh program dan mata pelajaran khusus yaitu mata pelajaran yang diberikan pada program tertentu dan menjadi konsentrasi program.
Perbandingan alokasi waktunya antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan 83-86% mata pelajaran umum dari sejumlah 135 jam pelajaran yang ditawarkan pada setiap program, pendidikan agama hanya 17 jam pelajaran dan sisanya 118 jam diberikan pada mata pelajaran umum dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100% sama dengan sekolah umum setingkat (Depag, 1994: 4).
Selain kurikulum yang berlaku secara nasional untuk kegiatan intrakurikuler, diatur pula kurikulum yang bersifat lokal dan ciri khas. Kurikulum lokal ini pada dasarnya ditentukan sendiri oleh masing-masing lembaga pendidikan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan ketentuan berlaku dalam SK Menag RI Nomor 371. 372, 373 tahun 1993 tentang kurikulum MI, MTs dan MA sebagai berikut :
“Madrasah dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas madrasah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional. Madrasah juga dapat menjabarkan dan menambah bahan kajian dari mata pelajaran sesuai dengan kebutuhan setempat”.
Pada kurikulum 1994 guru diberi wewenang untuk improvisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan atau sub pokok bahasan sesuai dengan kebutuhan. Guru diberi wewenang dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuihan sehingga peserta didik aktif dalam pembelajaran, baik secara fisik dan mental (intelektual dan emosional) maupun sosial.
Untuk kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang mulai diberlakukan secara berangsur-angsur tahun pelajaran 2004-2005. Bagi semua jenjang pendidikan, sementara bagi sekolah yang belum siap bisa tetap melaksanakan kurikulum 1994 sambil mempersiapkan pelaksanaan kurikulum baru. Waktu yang diberikan sekitar tiga tahun, dengan demikian tahun pelajaran 2007-2008 semua sekolah pada berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, baik negeri dan swasta diharapkan telah melaksanakan kurikukulum 2004 ini.
Kurikulum berbasis kompotensi adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa atau peserta didik, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Nurhadi (2004: 3) menyebutkan secara yuridis yang mendasari kurikulum 2004 tertuang dalam peraturan undang-undang sebagai berikut: (1) UUD 1945 dan perubahannya; (2) Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN; (3) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional; (4) Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan; (5) Peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom.
Untuk kepentingan itu, pemerintah menggulirkan berbagai paket kebijakan pendididkan yang secara keseluruhan merupakan rangkaian utuh, simbiotik antara satu dengan lainnya. Salah satu diantara kebijakan tersebut adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada hakekatnya merupakan penguatan terhadap kebijakan kurikulum sebelumnya yang berbasis tujuan dan menekankan pencapaian kompetensi.
Rumusan kompetensi dalam kurikulum berbasis kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan muncul dapat diketahui, disikapi atau dilakukan peserta didik dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan peserta didik yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar mengajar dan, pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Pusat kurikulum pendidikan nasional menyebutkan kurikulum berbasis kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menekankan tercapainya kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar