Rabu, 20 April 2011

Perbedaan “Kami“ dan “Kita” dalam Bahasa Indonesia


Setiap kali menguji tesis atau skrispi mahasiswa, saya seringkali menemukan ungkapan-ungkapan lucu dan aneh yang disampaikan mahasiswa baik ketika menjelaskan isi tesis atau skripsi secara ringkas maupun ketika menjawab pertanyaan dosen penguji. Tampaknya kesalahan tersebut telah menjadi salah kaprah berkepenjangan untuk segera memperoleh perhatian. Misalnya, pada penggunaan kata “kami” dan “kita”. Karena penasaran dengan seringnya penggunaan kedua kosakata tersebut secara tidak tepat, saya terpaksa membuka buku semantik dan kamus Bahasa Indonesia serta kamus beberapa bahasa asing untuk mencari makna sesungguhnya dan mencari alasan mengapa kesalahan itu sering terjadi.

Dalam bahasa Inggris, kedua kata “kami” dan “kita” hanya diwakili oleh kata “we”, dalam bahasa Arab “nahnu”, dalam bahasa Jerman “wir“, dalam bahasa Belanda “wij“, dalam bahasa Perancis “nous”, sedangkan dalam bahasa Rusia “Mbl”. Dengan kata lain, untuk mengungkapkan konsep “kita” dan “kami”, dalam bahasa Inggris, Arab, Jerman, Belanda, Perancis, dan Rusia hanya ada satu kata.

Dengan demikian, meskipun sebenarnya tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang dapat dikatakan sebagai bahasa paling kaya atau sebaliknya, sebagai pemilik dan pemakai bahasa Indonesia kita patut berbangga, sebab kita memiliki dua kata untuk mengungkapkan konsep kata ganti orang pertama jamak (the first person plural)., yaitu “kita” dan “kami”. Tetapi karena ini pula banyak anggota masyarakat kita sering salah menggunakannya. Misalnya, seorang mahasiswa ditanya kapan dan di mana dia melakukan penelitian untuk penulisan tesisnya. Jawabannya “Kami melakukan penelitian di sebuah sekolah yang kami pandang memiliki beberapa kelebihan dalam pengelolaan manajemen”.

Saya merasa bingung atas jawaban mahasiswa yang menggunakan kata “kami” tersebut. Sebab, saya merasa tidak terlibat penelitian mahasiswa itu dan tidak pernah memandang bahwa sekolah tersebut memiliki kelebihan tertentu. Pun ketika mahasiswa tersebut menyatakan “Kami akan melakukan perbaikan segera Pak”. Wah jadi repot nih, gumam saya. Sebab, saya pikir dia akan mengajak saya memperbaiki tesisnya yang memang amburadul. Dan, saya pasti merasa keberatan karena perbaikannya hampir di semua bagian tesis. Dasar mahasiswanya tidak begitu cerdas!

Kendati saya peringatkan untuk tidak lagi menggunakan kata “kami” dan “kita” yang salah itu dan menggantinya dengan kata “saya”, toh tetap saja kedua kosakata itu muncul setiap kali mahasiswa itu memberikan penjelasan. Tampaknya, kesalahan itu terjadi karena ketidaktahuan mahasiswa tersebut sehingga telah menjadi salah kaprah yang berkepanjangan. Menurutnya, selama ini dia menggunakan kedua kosakata tersebut dalam berkomunikasi dan tak ada satu pun orang yang mengingatkan bahwa pemakaian keduanya tidak tepat.Terbukti setelah ujian selesai di luar forum ujian saya bertanya mengapa sering menggunakan kata “kita” dan “kami”, mahasiswa tersebut menjawab “agar tampak sopan dan halus, dan kata ‘saya’ terasa egois”. Itulah pikiran yang selama ini ada di benak mahasiswa saya itu, yang salah. Jadi dia memang benar-benar tidak mengerti perbedaan kapan menggunakan kata “kita” “kami” dan “saya”.

Kesalahan serupa ternyata tidak saja terjadi pada mahasiswa, tetapi juga para selebritis bahkan pejabat pemerintah. Dalam sebuah wawancara langsung yang disiarkan TV swasta, saya secara kebetulan menyaksikan seorang artis terkenal sedang ditanya wartawan “Kapan anda akan menikah?” Jawaban sang artis “Persisnya gak tahu, tapi yang pasti kita akan menikah paling lambat akhir tahun ini”. Merujuk makna dasar yang terkandung dalam kata “kita”, maka jawaban sang artis bisa dilogikakan bahwa dia akan menikah dengan wartawan yang mewancarainya paling lambat akhir tahun ini. Padahal, bisa dipastikan sang artis tidak akan menikah dengan sang wartawan tersebut. Untung saja sang wartawan juga sama-sama tidak paham makna dasar kata “kita”. Andaikan memahaminya, dia pasti berbunga-bunga, sebab akan dinikahi seorang artis terkenal di negeri ini. Nah, pembaca yang budiman, maknanya jadi kacau kan?

Lebih menarik lagi memperhatikan ungkapan seorang pejabat pemerintahan. Perhatikan ungkapan seorang pejabat menganggapi pertanyaan wartawan atas banyaknya musibah kecelakaan dalam sistem transportasi di Indonesia. “Kami harus segera mengadakan koreksi dan introspeksi serta perbaikan-perbaikan ke dalam organisasi kami atas berbagai musibah selama ini ”.Padahal, bisa dipastikan yang akan melakukan koreksi dan introspeksi di tubuh organiasi itu adalah pejabat itu sendiri beserta jajarannya dan tidak akan mungkin melibatkan wartawan.

Dalam ilmu Linguistik bahasa Indonesia, kedua kosakata tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya keduanya sebagai kata ganti orang pertama jamak (the first person plural). Perbedaannya “kita” bersifat inklusif dan “kami” bersifat ekslusif. Dengan demikian, kata “kita” melibatkan pendengar, pembaca atau lawan bicara, sedangkan kata “kami” tidak. Karena itu, setiap pengguna bahasa Indonesia seharusnya memahami persamaan dan perbedaan kedua kosakata tersebut sehingga tidak menjadi salah kaprah.

Sebagai kekhasan dan keunikan linguistik, makna dasar kedua kosakata tersebut harus kita jaga agar tidak terjadi distorsi semantik (semantic distortion). Sebab, kekhasan dan keunikan makna kedua kosakata tersebut sekaligus merupakan kekayaan linguistik (linguistic wealth) yang harus kita jaga kelestariannya bersama dengan kekayaan-kekayaan lain yang kita miliki sebagai bangsa. Itulah salah satu kelebihan yang dimiliki bahasa Indonesia. Karena itu, harus kita jaga kelanggengan maknanya. Tetapi tampaknya sebagian masyarakat kita gagal melakukannya. Saya sering berpikir hipotetik “Kalau melestarikan makna kata saja kita tidak bisa, apalagi melestarikan budaya-budaya besar peninggalan nenek moyang kita?”.

Tetapi saya juga sadar bahwa bangsa kita ini memang susah sekali merawat apa yang kita miliki, baik itu berupa karya kita sendiri maupun lebih-lebih warisan atau peninggalan para pendahulu kita. Kecerobohan dan kesalahkaprahan berbahasa barangkali bisa dijadikan bukti otentik kelemahan kita melestarikan budaya bangsa kita sendiri. Sebagai anak sah peradaban yang pertama, setiap bahasa tentu memiliki kekhasan dan keunikan sendiri yang tidak perlu dibaurkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Saya lalu teringat ajaran pakar bahasa Indonesia Prof. Jus Badudu yang menyatakan “Ketika berbahasa Indonesia, ikutilah kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika berbahasa Inggris, juga ikuti kaidah dan aturan bahasa Inggris yang baik dan benar. Pun ketika berbahasa lainnya, misalnya bahasa Arab, juga harus mengikuti aturan dan kaidah bahasa Arab yang baik dan benar”.

Karena itu, jangan membaurkan kaidah dan makna satu bahasa ke bahasa lainnya sebagaimana membaurkan konsep kata “kita” dan “kami” dengan bahasa lainnya. Sebab, pembauran bisa jadi akan melahirkan makna ambigu. Dan, satuan bahasa yang ambigu seringkali menimbulkan ketidakpastian. Mungkin itu sebabnya, ketidakpastian melanda dalam kehidupan kita sebagai bangsa sampai saat ini. Sebab, kita memang paling pinter membaurkan apa saja yang kita maui tanpa kita sendiri tahu makna hakikinya. Barangkali karena ini juga mengapa makanan sejenis gado-gado, yang tidak jelas spesifikasi rasanya, begitu laris di jual di warung atau restoran dan menjadi salah satu makanan khas Indonesia.


Ditulis Oleh: Prof. Mudjia Rahardjo


Dipublikasikan Oleh:

M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com
, http://grosirlaptop.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar