Pembahasan mengenai hubungan satuan pendidikan dengan masyarakat yang biasa dikenal dengan istilah humas pendidikan pada dasarnya juga membahas mengenai pemberdayaan terhadap masyarakat itu sendiri lewat peran serta, keterlibatan dan partisipasinya terhadap pendidikan secara menyeluruh, baik itu mengenai pengertiannya secara konfrehensif, pengembangan, kebutuhan dan kepuasannya terhadap sesuatu yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible), atau juga deferensiasi daerah di mana mereka tinggal dan sebagainya.
Pembahasan tersebut sebagaimana yang telah diungkapkan Bapak Malik Fadjar berkaitan dengan tujuan utama reformasi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) berbasis masyarakat yaitu, pertama membantu beban tugas pemerintah dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pendidikan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan; kedua menstimulasi perubahan sikap dan persepsi terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab, kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima perbedaan sosial dan budaya; ketiga mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah melalui kebijakan desentralisasi; serta yang keempat adalah mendukung peranan masyarakat guna mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan mutu dan relevansi, pembukaan kesempatan yang lebih, peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
Tujuan reformasi tersebut menjadi landasan atas urgensi hubungan lembaga dengan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari rancangan peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh. Selain juga bertujuan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana pendidikan sebagaimana tertera pada tujuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang sama-sama saling membutuhkan (simbiotic). Masyarakat sangat membutuhkan layanan pendidikan yang baik, dan tentunya hal itu bisa dilewati melalui lembaga pendidikan guna mempersiapkan diri serta memenuhi kebutuhan dan harapan hidup yang sempurna. Untuk memenuhi hal tersebut lembaga membutuhkan masyarakat agar layanan sesuai dengan keinginannya. Lembaga pendidikan tidak dapat eksis tanpa masyarakat, sebaliknya masyarakat tidak dapat mencapai hidup yang sempurna tanpa lembaga pendidikan. Dalam berbagai persoalan kependidikan terutama yang berkenaan dengan lemahnya (problematika) manajemen pendidikan suatu lembaga pendidikan, tidak dapat dibebankan atau menyalahkan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan.
S. Thomas Foster (2007) mengatakan bahwa “the costumer is always right”, pengguna selalu saja benar, dalam artian pada aspek kebutuhan dan harapannya terhadap suatu organisasi baik dalam bidang barang ataupun jasa konsumen selalu saja benar dan menjadi kewajiban pelayan (produsen/pelaku pendidikan) untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan harapan pelanggannya. Bila tidak, maka pelanggan akan menjauhinya. Dalam hal ini seharusnya pengelola lembaga suatu organisasi sebisa mungkin berfikir bagaimana cara dan strategi mendesain layanan pendidikan misalnya sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang berbeda-beda tadi.
Untuk itu dalam mengefektifkan kinerja pendidikan suatu lembaga pendidikan harus memperhatikan kondisi, fokus marketnya dengan masyarakat, misalnya saja pada hal yang berkaitan dengan input sesuai dengan ketetapan Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Depdiknas mengenai standar input pada aspek hubungan masyarakat, maka hal yang harus mendapat perhatian adalah:
1. Hubungan dengan masyarakat, baik menyangkut substansi maupun strategi pelaksanaannya, ditulis dan dipublikasikan secara eksplisit dan jelas.
2. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam pendidikan di sekolah melalui pengembangan model-model partisipasi masyarakat sesuai tingkat kemajuan masyarakat. Dan implementasi strategi-strategi lainnya guna mencapai suatu target dan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan otonomi daerah masing-masing.
Berkenaan dengan ini juga maka salah satu tugas penting satuan pendidikan adalah bagaimana membentuk citra atau sistem yang kuat di tengah-tengah dan hadapan khalayak. Cyril Poster (2000) merumuskan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh lembaga dalam membentuk citra yang baik, diantaranya kekhususan yang dimiliki dan dapat dikenali, dokumen apa yang dimiliki, siapa yang membangun gaya tersebut, ciri yang paling menyoroti sehingga menjelaskan hakekat sekolah, dapatkah sekolah menjamin bahwa perilaku dan gaya seluruh staf relevan dengan etos yang diharapkan sekolah, kesan yang diciptakan oleh bangunan fisik sekolah, wajah apa yang ditampilkan sekolah, seberapa mudah menghubungi sekolah, kesan apa yang diciptakan staf sekolah dalam berpakaian dan berbicara, simbol visual (logo, semboyan atau skema warna), apakah ada keseragaman, atau warna yang kompak dan gaya yang konsisten yang digunakan sekolah, kesan apa yang ditimbulkan oleh kondisi kantor kepala sekolah, ruang kelas dan ruang staf, dokumen-dokumen yang telah dikirimkan kepada orang tua selama bulan atau semester terakhir, cara rutin yang bagaimana yang dipakai sekolah guna berbicara di televisi, radio atau tampil di media massa, analisislah format dan isi pesan dalam kegiatan upacara dan acara berkala yang dilakukan sekolah, perhatikan kembali pesan serta mutu syair hymne dan nyanyian sekolah serta kata-kata pada teriakan patriotik, seberapa sering, baik dan seberapa terperinci sekolah melaporkan kemajuan siswa kepada wali murid, perhatikan model laporan yang dikirim kepada orang tua, dan bagaimana timbal baliknya, apakah terdapat laporan tahunan baik secara lisan maupun tulisan mengenai dokumen informasi yang menyoroti pendidikan dan pembelajaran kepada masyarakat, dan seberapa banyak dana yang disediakan oleh sekolah untuk membayar penerbitan dan promosi sekolah dan dari mana sumbernya.
Pertanyaan-pertanyaan terkemuka masih merupakan sebagian dari sekian banyak pekerjaan yang harus dijawab oleh satuan pendidikan dalam merelevansikan layanan pendidikan kepada masyarakat dan meningkatkan mutu pendidikan lewat pembentukan citra yang baik dan cocok bagi masyarakat. Baik tidaknya mutu satuan pendidikan sangat bergantung kepada perspektif masyarakat yang menggunakan layanan pendidikan tersebut.
Pekerjaan-pekerjaan di muka merupakan tugas-tugas humas pendidikan. Oleh sebab itu agar humas benar-benar dapat dikatakan ideal maka ia harus berupaya selalu dekat dengan pihak pimpinan atau berada langsung di bawah pucuk pimpinan sehingga segala kebijakan dapat dengan segera diketahuinya dan dapat disampaikan kepada khalayak dengan baik dan begitupun sebaliknya ia pun harus bisa dekat dengan masyarakat sehingga dapat mendengarkan segala aspirasi yang ada dan diajukan langsung kepada pimpinan organisasi dengan segera pula. Bila demikian kedudukan humas maka akan dapat menentukan efektifitas suatu organisasi. Dalam hal yang berkaitan erat dengan efektifitas hubungan masyarakat.
Dalam hal di atas Irvin Smith Kogan mengemukakan syarat-syarat humas yang efektif, yaitu sebagai berikut:
1. Pejabat humas mempunyai informasi yang lengkap tentang organisasi.
2. Pucuk pimpinan operasional harus bertanggungjawab tentang kehumasan.
3. Manajemen harus mendukung keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat humas.
4. Harus ada sistem “accountability” terhadap performan dari pada pejabat humas.
5. Kehumasan harus lebih banyak memikirkan “objektivitas” jangka panjang dari pada “objektifitas” jangka pendek.
Istilah humas dan perkembangannya, berasal dari hubungan-hubungan dalam bidang bisnis yang kemudian berkembang dipakai dalam dunia pendidikan sampai saat ini. Menurut Cutlip dan Center term public relations digunakan pada tiga pengertian yaitu: 1). Relationships dengan perancangnya; 2). Ways and mean yang digunakan guna mencapai hubungan yang menguntungkan; 3). Quality or status mengenai hubungannya. Istilah tersebut dalam dunia pendidikan juga kerap sekali dikenal dengan istilah humas pendidikan.
Beberapa ahli menyatakan bahwa istilah public yang berarti publik atau khalayak kurang tepat untuk dimaknai sebagai masyarakat (society). Menurut JBAF Mayor Polak dalam sosiologi pengertian masyarakat adalah suatu wadah seluruh antar hubungan sosial dengan seluruh jaringannya dalam arti umum, tanpa menentukan suatu batas tertentu. Sedangkan pengertian public dapat ditinjau dari dua (2) aspek yaitu geografis dan psikologis.
Secara geografis berarti sejumlah orang yang berkumpul bersama-sama di suatu tempat tertentu, sehingga darinya dikenal pembagian-pembagian nasional, regional dan lokal. Sedangkan secara psikologis masyarakat berarti orang-orang atau sekelompok orang yang menaruh perhatian pada suatu kepentingan yang sama tanpa ada sangkut pautnya dengan tempat di mana mereka tinggal, bisa berupa kelompok kecil maupun besar yang memiliki solidaritas walau tanpa ikatan struktur yang realistik. Sedangkan istilah relations dalam kalimat public relations merupakan prinsip yang mengandung arti eksistensi hubungan timbal balik (two way communication). Demikian pendapat yang mengkritisi pemaknaan public relations dalam premis kehumasan.
Kemudian berdasarkan perkembangannnya, istilah humas pertama kali dicetuskan oleh Thomas Jefferson, seorang Presiden USA pada tahun 1807, yang dimaksudkan kepada hubungan asing (foreign relations), dan disampaikan pada acara kongres ke-10. Kemudian istilah tersebut digunakan dalam suatu sambutan pada hari sarjana di Yale Law School dengan judul ”the public relations and duties of the legal proffesion” pada tahun 1882.
Bambang Siswanto dalam hal ini merinci fase-fase perkembangan istilah humas (public relations) sebagai berikut:
a). Praktek public relations dimulai sejak awal sejarah (zaman Neolithic dan saat Cleopatra menyambut seorang pedagang yang bernama Mark Anthony, namun belum disebut public relations) sampai abad 17, yang disebut dengan ”public relations as non organized activity”.
b). Dari abad 17 sampai dengan 18, yang dikenal dengan istilah ”public relations as organized activity”, yang disebabkan oleh meningkatkan perdagangan lokal, nasional dan international, yang terjadi pada zaman Gilda di Eropa atas dasar eksisnya perkumpulan dagang dan niaga yang dipraktekkan lewat layanan (service) yang berkualitas dan memuaskan.
c). Antara abad 18 hingga 20, yang disebut dengan istilah ”public relations as profesional” sebagai akibat dari kemajuan teknologi (industri). Perkembangan terbaik terjadi di Amerika Serikat yang diawali dengan adanya krisis pada perusahaan tambang batu bara dan The Pennsylvania Railroad Company yang kemudian permasalahan tersebut diatasi oleh Ivy Ledbetter Lee, sehingga public relations semakin dibutuhkan banyak orang. Tokoh lainnya yaitu Arthur Page, Gearge Creel dan Edward L. Bernays.
d). Fase terakhir adalah di mana humas dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan banyaknya pengajaran tentang public relations pada berbagai universitas yang pertama kali diajarkan oleh Bernays di Universitas New York. Pada tahun 1947 terdapat kurang lebih 30 universitas di Amerika yang menjadikan public relations sebagai mata kuliah khusus.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar