Artikel pendidikan ini berusaha menjelaskan tentang sejarah semantik. Diharapkan artikel pendidika singkat ini memberi pmahaman tentang sejarah semantik sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian yang bertema sejarah semantik .
--------------------
Para pemikir/filusuf Yunani sejak dulu telah mengkaji dan mendiskusikan isu-isu yang dapat dikatagorikan sebagai “embrio” semantik. Studi semantik pada saat itu dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan berpikir seseorang (Umar, 1982). Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata, yang menurutnya adalah satuan terkecil yang mengandung makna (Aminuddin, 2003).Dalam kaitannya dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna, Disebutkan, bahwa makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (at-tashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/al-kalimat) (Umar, 1982). Bahkan Plato (429—347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas (Aminuddin, 2003).Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar klasik berkebangsaan Jerman bernama C. Chr.Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik (Pateda, 2001). Istilah semantik itu sendiri pada saat itu masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. (Aminuddin, 2003). Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase (Pateda, 2001). Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantics.Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du langage”. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significations (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantics: Studi in the Science of Meaning (Pateda 2001 dan Aminuddin, 2003).Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern (Pateda, 2001 dan Aminuddin, 2003). Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris (Aminuddin, 2003). Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistics). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu (Chaer, 2002). Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis (Aminuddin, 2003).Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).Menurut de Saussure yang nama lengkapnya Mongin Ferdinan de Seassure (kelahiran Jenewa pada tahun 1857), suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (Sampson, 1980). Istilah semantik pun bermacam-macam, antara lain, signifik, semasiologi, semiologi, semiotic, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Leech (1974), dan Lyons (1977) menggunakan istilah semantik (Djajasudarma, 1, 1993).-----
Demikian artikel singkat tentang sejarah semantik. semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang sejarah semantik. Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, mohon kritik dan sarannya melalui komentar.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Semantik"
Posting Komentar