Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Kepemimpinan transaksional menggunakan pendekatan transaksi untuk disepakati bersama antara pemimpin dengan karyawan. Disini pemimpin mengambil inisiatif untuk menawarkan beberapa bentuk pemuasan kebutuhan karyawan seperti peningkatan upah, promosi, pengakuan dan perbaikan kondisi kerja. Sebaliknya apabila karyawan mau menerima tawaran itu mereka harus bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Apabila kedua belah pihak telah menyepakati transaksi tersebut, pemimpin menindaklanjuti dengan merumuskan dan mendiskripsikan tugas-tugas dengan jelas dan operasional, menjelaskan target yang harus dicapai, menawarkan berbagai bentuk imbalan yang dapat memotivasi karyawan untuk bekerja keras.
Sedangkan kepemimpinan transformasional menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses, dia harus membangkitkan komitmen pengikutnya untuk dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi, mengembangkan visi organisasi, melakukan perubahan, dan mencari terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Untuk menjadi pemimpin transformasional, ia harus melakukan tugasnya melalui:
Pertama, Membangun keadaran pengikutnya akan pentingnya semua pihak mengembangkan dan perlunya semua pihak harus bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Kedua mengembangkan komitmen berorganisasi dengan mengembangkan kesadran ikut memilki organisasi, kesadran bertanggung jawab menjaga kebutuhan dan kehidupan organisasi, serta berusaha memlihar dan memajukan organisasi.
Pada kepemimpinan transaksional pemimpin memang berperan sebagai penampung aspirasi anggotanya, akan tetapi lebih fokus pada aspirasi para individu, bukan lembaga. Jadi pemimpin bekerja sepenuh tenaga untuk sebesar mungkin memenuhi aspirasi para individu. Pemimpin bekerja pada sistem yang sudah terbangun, tanpa dituntut punya inisiatif mengembangkan komunitas lebih lanjut. Singkatnya, dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin lebih bertindak sebagai seorang manajer dengan berpedoman kuat pada nilai-nilai yang sudah terbangun secara mapan. Akad hubungan dengan anggota yang ditekankan adalah “reward” (imbalan) dan “punishmen” (hukuman) yang bersifat konvesional.
Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikut dengan minat-minat pribadi, melibatkan nilai-nilai yang relevan dalam proses pertukaran dan tidak langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki. Selain tujuan antara transformasional dengan transaksionl berbeda, kontuniutas perilaku juga berbeda. Keperbedaan kedua pendekatan kepemimpinan tersebut bukanlah bersifat dikotomis melainkan lebih bersifat stuasional, sehingga tampilannya lebih berupa sebuah kontinium atau kontingensi.
Jika merujuk pada pendapat diatas maka kepemimpinan transformasional secara mendasar memang berbeda dengan transaksional dalam penekanaanya tentang penciptaan perubahan. Namun, pemimpin transformasioanal bisa melakukan perilaku transaksional dalam situasi tertentu guna menciptakan perubahan, sehingga proses penggabungan dua model kepemimpinan tersebut terjadi.
Sementara dalam kepemimpinan transformasional, selain menjadi representasi keinginan bersama para anggotanya, pemimpin juga dituntut untuk selalu aktif melakukan inisiasi perubahan (envisioning). Memang dia akan berpijak sistem yang sudah ada, akan tetapi bersamaan dengan itu, dia juga aktif mempromosikan visi baru yang progresif berlandaskan pada moralitas dan tujuan luhur bersama. Pemimpin menjadi motivator kegairahan anggotanya untuk bersama mendorong kemajuan lembaga.
Dalam proses kepemimpinannya, ada proses dialektika aktif antara pemimpin dan anggota untuk mendiskusikan visi baru organisaisi. Dalam proses tersebut anggota memberikan standar “capaian” bersama organisasi, dan pada saat yang sama pemimpin menstimulasi diskursus yang mengarah pada capaian standar baru yang lebih tinggi. Jadi, ada tambahan peran pemimpin transformational yaitu envisioning, energizing, dan enabling (Burns 2003). Envisioning artinya pemimpin menstimulus terbentuknya visi baru organisasi yang lebih maju. Energizing berarti berarti kekuatan karakter yang menjadi sumber energi (spirit) bagi anggota untuk bergairah bekerja mewujudkan cita-cita lembaga. Dan dengan enabling Pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga memberikan keyakinan akan terwujudnya cita-cita lembaga (bukan cita-cita individu).
Rujukan:
1. Wuradji, The Educational Leadership (Kepemimpinan Transformasional), (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hal. 30-31
2. Sudarman Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (kepemimpinan Transformasional Dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 58-59
3. M. Chozin, Kepemimpinan Transformatif: Tanda Mata Buat PB HMI, (http://www.hminews.com/) diakses tanggal 25 oktober 2008
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional"
Posting Komentar