Berikut ini artikel/makalah tentang Jenis Perubahan Makna. makalah pendidikan/artikel pendidikan singkat ini diharapkan memberi pemahaman tentang Jenis Perubahan Makna sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian pendidikan tentang Jenis Perubahan Makna.
-------------------------
Macam-macam Perubahan Makna
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa makna bahasa selalu mengalami perubahan karena berbagai faktor. Pertanyaan berikutnya yang mengemuka adalah bagaimanakah bentuk atau jenis perubahan yang terjadi. Ada beberapa bentuk atau jenis perubahan makna sebagaimana berikut ini.
A.Perluasan Makna (Tausi’ul Ma’na)
Menurut Umar (1982), perluasan makna (widening/extension) terjadi manakala didapati perpindahan dari makna khusus ke makna umum. Sependapat dengan pernyataan ini, Chaer (2002) menegaskan bahwa perubahan makna meluas terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata saudara, bapak, dan ibu semula digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai hubungan darah dengan kita. Akan tetapi, sekarang makna kata tersebut meluas. Artinya, kata saudara, bapak, dan ibu bukan saja digunakan untuk orang yang mempunyai hubungan darah dengan kita, melainkan juga digunakan untuk orang lain.
Dalam bahasa Arab, anak kecil sering mengucapkan kata تفاحة’apel’ untuk mengacu pada segala sesuatu berbentuk oval yang serupa bentuknya dengan ‘apel’, misalnya kata , كرة التنس, أكرة الباب, البرتقالة ‘jeruk’, ‘handle pintu’, dan ‘bola tenes’ (Umar, 1982). Ini berarti kata تفاحة yang semula berarti ‘apel’ (makna khusus), diperluas maknanya untuk benda yang serupa bentuknya, misalnya jeruk, bola tenes, dan handle pintu. Kata salary (المرتب) yang berasal dari bahasa Latin dan makna semula adalah gaji prajurit (مرتب الجندي) sekarang maknanya meluas menjadi gaji untuk semua karyawan. Bahkan kalau kita mencermati sejarah kata salary (المرتب) ini pada awalnya berarti gaji prajurit berupa garam (حصة الجندي من الملح), kemudian meluas maknanya menjadi haji prajurit, dan sekarang berarti gaji karyawan. Dengan demikian, kata ini mengalami perluasan makna dua kali (Umar, 1982).
Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap perluasan makna, perhatikan dan bandingkan contoh A1 dan 2 serta contoh B1 dan B2 berikut ini.
Contoh A1
(1) Saudara saya tiga orang
(2) Bapak saya bekerja di perusahaan swasta.
(3) Ibu saya seorang guru di Madrasah Aliyah.
Contoh A2
(1) Apakah Saudara menerima pendapat saya?
(2) Ide Bapak itu ideal, tetapi sulit diterapkan.
(3) Ibu kita Kartini harum namanya.
Kata saudara, bapak, dan ibu pada contoh A1 berbeda dengan yang ada pada A2. Saudara pada A1 dimaksudkan saudara karena ada hubungan darah (mungkin kakak atau adik yang seayah dan seibu atau seayah saja, atau seibu saja). Kata bapak pada A1 dimaksudkan sebagai orang tua laki-laki (ayah), dan ibu dimaksudkan sebagai orang tua perempuan. Ketiga kata ini yang semula (pada contoh A1) memiliki makna sempit berkembang menjadi kata yang maknanya lebih luas. Kata saudara pada A2 sudah tidak dibatasi oleh adanya hubungan darah, melainkan merupakan kata sapaan yang diperuntukkan kepada semua orang yang secara sosiologis dipandang memiliki struktur sosial yang hampir sama. Demikian pula, kata bapak dan ibu pada A2 bukan lagi dibatasi oleh pertalian darah, melainkan juga merupakan kata sapaan yang bagi orang lain yang usianya lebih tua atau secara sosiologis dipandang memiliki struktur sosial atau struktur formal lebih tinggi.
Untuk mengetahui perluasan makna dalam bahasa Arab, perhatikan dan bandingkan contoh berikut ini.
Contoh B1
1- إذقالوا ليوسف واخوه أَحَبُّ الى ابينا منا ونحن عُصبة, إن ابانا لفي ضلال مبين (يوسف:8).
2- وإن كان رجل يورث كلالَة او امرأة وله اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس.(النساء: 12)
3- وقال يابَنَِّي لاتدخلوا من باب واحد وادخلوا من أبواب متفرقة (يوسف:67)
1. (Yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.
2. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
3. Dan Ya`qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain”.
Contoh B2
1- إنماالمؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم.
2- لايؤمن احدكم حتى يحب لأخيه مايحب لنفسه.
3- العباد كلهم إخوة.
4- فيا أبناء الأمة, تمسكوا في حياتكم بالقرآن والحديث!
1. Sesungguhnya orang mu’min itu bersaudara, maka perbaikilah di antara saudaramu.
2. Tidaklah sempurna iman seseorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
3. Hamba Allah itu semuanya bersaudara.
4. Wahai anak bangsa! Berpegang tegulah pada al-Qur’an dan Hadits dalam hidupmu.
5.
Kata اخوه dan اخ او اخت pada contoh B1 merupakan kata yang maknanya terbatas (sempit). Kata ini mengacu pada saudara yang dibatasi oleh hubungan darah. Secara lebih spesifik, kata اخوه tersebut mengacu pada seorang bernama Benyamin saudara Yusuf. Ayat 8 surah Yusuf di atas terkait dengan konteks kesejarah keluarga Ya’kub. Saudara-saudara Yusuf dan Benyamin dihantui oleh prasangka buruk kalau ayahnya itu berikap deskriminatif terhadap anak-anaknya. Artinya Ya’kub lebih mencintai Yusuf dan Benyamin. Bahkan mereka menuduh ayahnya sesat. Demikian juga, Kata اخ او اخت pada contoh B1 (2) juga terkait dengan konteks keluarga. Makna yang diacu oleh kata اخ او اخت ini juga terbatas pada saudara yang diikat pertalian darah dan kemunculan kata ini terkait dengan pembagian waris. Hal yang sama juga terjadi pada kata يابَنَِّي (hai anakku) sebagaimana pada contoh B1 (3). Makna yang diacu oleh kata يابَنَِّي ini adalah anak kandung (anak kandung Nabi Ya’kub).
Bandingkan dengan kata إخوة bentuk jamak dari kata اخ dan لأخيه pada contoh B2 (1) dan (2). Kata ini tidak dibatasi oleh ikatan pertalian darah. Makna kedua kata ini diperluas, sehingga saudara yang diacu oleh kedua kata pada contoh B 2 (1) dan (2) bukan saja saudara yang ada pertalian darah, melainkan mengacu pada semua orang yang beridentitaskan sebagai mukmin Bahkan dalam contoh B2 (3), makna kata إخوة berkembang lebih luas lagi, yakni mengacu pada saudara yang tidak dibatasi oleh ikatan kesamaan teologis, melainkan saudara dalam arti dimensi sosial-kemanusiaan. Hal yang sama juga terjadi pada kata أبناءbentuk jamak dari kata ابن . Kata ini bukan lagi dimaknai sebagai anak kandung, melainkan diperluas menjadi anak bangsa.
B. Penyempitan Makna (Tadlyiqul Ma’na)
Penyempitan makna (narrowing) yang oleh Ibrahim Anis disebut dengan takhshishul ma’na adalah perubahan makna dari yang umum (kully) ke yang lebih khusus (juz’iy) (Umar, 1982). Sependapat dengan ini, Chaer (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Dengan bahasa yang berbeda, tetapi esensi maknanya sama, Djajasudarma (1999) menyatakan bahwa penyempitan atau pembatasan makna berarti makna yang dimiliki oleh kata lebih terbatas dibandingkan dengan makna semula.
Menurut Umar (1982), di Amerika sepuluh tahun yang lalu, apabila seorang perempuan mengatakan a pill, pendengar bertanya-tanya: untuk apa? Apakah a pill yang dimaksud itu untuk mencegah kehamilan? Ataukah a pill yang dimaksud itu untuk obat sakit kepala? Atau untuk obat sakit mag?. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kata a pill pada awalnya memiliki makna yang luas (tidak terbatas). Akan tetapi, setelah penggunaan alat kontrasepsi berupa tablet begitu meluas, maka makna kata a pill menjadi menyempit, sehingga setiap ada ungkapan kata a pill, maka makna yang diacu adalah tablet untuk mencegah kehamilan. Dalam bahasa Indonesia, kata tukang yang memiliki makna luas ‘ahli’ atau ‘bisa mengerjakan sesuatu’, maknanya menjadi terbatas dengan munculnya unsur pembatas, misalnya pada (1) tukang kayu, (2) tukang catut, (3) tukang tambal ban, dst. (Djajasudarma, 1999).
Penyempitan makna ini juga menggejala pada setiap bahasa, khususnya bahasa Arab. Kata حرامي pada awalnya memiliki makna luas, yakni mengacu pada setiap perbuatan haram. Akan tetapi, sejak abah ke 7 H, dalam beberapa buku cerita, makna kata ini menyempit, yakni berarti maling atau al-lishshu. Bahkan sampai sekarang, kata حرامي yang berarti maling masih digunakan. Dalam bahasa lisan, kata طهارة yang berarti bersih juga mengalami penyempitan makna, yakni berubah menjadi الختان. Demikian pula, kata الحريم yang awalnya digunakan untuk mengacu pada setiap muhrim mengalami penyempitan makna, yakni mengacu pada perempuan (an-nisa’). Kata العيش (hidup) di Mesir berarti roti (al-khubz) dan di beberapa negara Arab berarti nasi (ar-ruz).
C. Perpindahan Makna (Naqlu al-ma’na)
Perpindahan makna adalah suatu gejala perubahan makna yang terjadi karena adanya makna asal berpindah atau berubah menjadi makna baru. Perpindahan makna ini identik dengan perubahan total sebagaimana yang dikemukakan oleh Chaer (2002). Menurut Chaer (2002), perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut paut tersebut tampaknya sudah jauh. Dia memberikan contoh kata ceramah pada mulanya berarti cerewet atau banyak cakap, tetapi kini menjadi ‘pidato atau uraian’ mengenai suatu hal yang disampaikan’.
Dalam bahasa Arab, Umar (1982) memberikan contoh mengenai kasus naqlu al-makna ini yang berkaitan dengan penyebutan salah satu anggota tubuh manusia. Kata صدر atau نحر (dada atau di atas dada) merupakan sebutan untuk kata ثدي (payudara). Kata الشنب yang semula berarti bibir yang indah dan gigi yang putih bersih sekarang berganti makna menjadi الشارب ‘kumis’. Kata السفرة yang semula berarti makanan yang dimasak untuk musafir, sekarang berarti meja makan. Ungkapan طول اليد yang semua sebagai sebutan untuk السخاء ‘seorang dermawan’ berubah menjadi السارق ‘pencuri’.
Makna baru akibat perpindahan makna (naqlu al-ma’na) ini ada yang memiliki nilai rasa rendah (inhithahh al-ma’na) dan ada yang memiliki nilai rasa tinggi. Kata-kata yang nilanya merosot menjadi rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan kata-kata yang nilai maknanya menjadi tinggi disebut ameliorative (Chaer, 2002). Misalnya kata حاجب yang pada daulah Andalusiah berarti perdana menteri (ra’isul wuzara’) kemudian berganti makna menjadi التافة (bodoh). (Umar, 1982).
Di dalam Al-Qur’an, kita jumpai beberapa kata yang maknanya berubah dangan makna yang digunakan sekarang. Qardhawi (1997) menegaskan bahwa pada masa kini, kita mendapati banyak kata-kata Al-Qur’an yang mempunyai pengertian tertentu yang berbeda dengan pengertian kata itu pada masa kenabian. Misalnya kata kata سائحون dan سائحات sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surah At-Taubah, ayat 112 dan surah At-Tahrim ayat 5 sebagai berikut.
التئِبُوْنَ العبِدُونَ الْحمِدُونَ السّئِحُونَ الرّكِعُوْن السّجِدُون الأمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ والنّاهُوْن عَنِ الْمُنْكَرِ والحفِظُوْنَ لِحُدُودِ الله وَبَشِّر الْمُؤْمِنِيْنَ.
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat (saaihuun), yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu” (At-Taubah, 112).
عسى رَبُّه إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْواَجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمتٍ مُؤْمِنتٍ قنِتتٍ تئِبتٍ عبِدتٍ سئِحتٍ ثيِّبتٍ وَأَبْكَارًا.
“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa (saaihaat), yang janda, dan yang perawan” (At-tahrim, 5).
Pengertian kataسائحون (Surah At-Taubat, 112) dan سائحات(Surah At-Tahrim, 5) sangat jauh berbeda dengan pengertiannya yang dikenal saat ini. Dewasa ini kedua kata tersebut berkaitan dengan dunia pariwisata (wisatawan). Sementara itu, kata سائحون dalam Surah At-Taubah, ayat 112 tersebut berarti orang-orang yang melawat, yakni orang-orang berjihad (berperang) atau orang-orang yang mencari ilmu (Ash-Shabuni, I, 1976). Sementara itu, kata سائحات dalam Surah At-Tahrim, ayat 5 tersebut berarti wanita yang berpuasa. Oleh Ash-Shabuni (III, 1976), kata سائحات ini ditafsirkan dengan wanita yang berpergian untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ada nuansa perbedaan makna antara yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dengan makna yang berkembang dewasa ini.
D. Penghalusan
Penghalusan atau yang disebut eufemisme merupakan salah satu bentuk perubahan makna. Eufemisme berarti pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu, misalnya frase ke belakang (untuk berak) (Kirdalaksana, 1984). Dalam eufimisme ini kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikannya (Chaer, 2002). Dalam bahasa Arab, ungkapan yang digunakan untuk berak (dalam bahasa Indonesia dihaluskan menjadi ke belakang) bukan ungkapan إلى الوراء (terjemahan literalnya ke belakang) atau تغوط sebagaimana dalam tuturan أريد التغوط, tetapi menurut salah seorang penutur asli ungkapan yang digunakan adalah إلى دور المياه.
Di dalam bahasa Indonesia gejala penghalusan ini cukup banyak, misalnya frase ditangkap oleh aparat kemanan diperhalus menjadi diamankan, kata pemecatan karyawan diperhalus dengan rasionalisasi karyawan, frase harga naik diperhalus menjadi penyesuaian harga. Di era pemerintahan Orde Baru, kata korupsi diperhalus menjadi kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi.
Penghalusan ini di suatu sisi mempunyai dampak sosio-psikologis yang positif, karena memperhatikan nilai etika dan sopan santun dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain gejala penghalusan ini berdampak negatif, karena penghalusan makna kata ini dipolitisasi sedemikian rupa sehingga keluar dari esensi makna yang sebenarnya. Contoh dampak negatif ini, sebagaimana kasus penghalusan kata korupsi menjadi kasalahan prosedur atau administrasi, sehingga banyak oknum pejabat yang korupsi bebas dari jerat hukum.
E. Perubahan Makna dari yang Konkret ke Abstrak
Perubahan makna terjadi pada kosa kata yang semula memiliki makna konkret menjadi kata yang mengacu pada makna abstrak. Ar-Razi sebagaimana yang dikutip oleh Ad-Dayah (1985) memberikan contoh kata غفر. Kata ini semula mengacu pada makna yang sifatnya konkret kemudian maknanya berubah menjadi abstrak dan dapat dipresepsi oleh akal dan jiwa. Dikatakan, bahwa kata غفور, غفار, غافر berasal dari مغفرة dan kata مغفرة ini berarti الستر (tutup atau satir). Seakan-akan Dia menutup dosa-dosa hamba-Nya (كأنه يستر ذنوب العباد). Apabil dalam do’a dikatakan اللهم تغمّدني بمغفرتك berarti استر ذنوبي.
Kata lain dalam bahasa Arab yang mengalamai perubahan makna dari yang konkret ke abstrak adalah kata الزكاة. Kata ini semula berarti النمو والزيادة. Dikatakan, زكا الزرع إذا نما وطال وزاد (tanaman itu tumbuh, apabila ia tumbuh, memanjang, dan bertambah). Sekarang kata ini digunakan untuk mengacu pada konsep yang bermakna abstrak, yakni الطهارة, sebagaimana disebutkan dalamsurah Asy-Syams, ayat 9 قد أفلح من زكاها. Kata زكا berarti mensucikan (mensucikan jiwa).
-------------------------
Demikian artikel/makalah tentang Jenis Perubahan Makna. semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang Jenis Perubahan Makna. Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, tulis permohonan, kritik, sarannya melalui komentar.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Jenis Perubahan Makna"
Posting Komentar