Akhir-akhir ini banyak kalangan masyarakat yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaiakn secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi profesi dokter, ke rumah sakit dimana dokter tersebut bekerja, maupun yang disiarkan melalui media cetak dan media elektronik. Seharusnya IDI menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang konstruktif terhadap profesi kedokteran, dan diharapkan agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik yang muncul tersebut hanya merupakan puncak gunung es artinya masih banyak kritik yang tidak muncul ke permukaan karena keengganan pasien atau keluarganya untuk menyatakannya, atau karena pasien atau keluarganya menganggap apa yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan memang begitulah perawatan dokter di Indonesia.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa pada saat ini sebagaian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian para dokter kepada masyarakat umumnya atau pada pasien khususnya, sebagai pengguna jasa para dokter. Pada dasarnya ketidakpuasan para pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan dokter disebabkan karena harapannya tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien atau keluarganya.
Istilah malpraktek yang dipahami masyarakat dan media massa berbeda dengan malpraktek yang biasa digunakan di bidang kedokteran. Malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu jabatan profesi dalam arti umum, dan tidak hanya kedokteran saja. Bila malpraktek ditujukan kepada profesi dokter maka disebut malpraktek medik. Namun ternyata dimana-mana juga diluar negeri istilah malpraktek selalu diasosiasikan kepada profesi dokter.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia saat inipun belum ada pengaturan tentang malpraktek medik. Sehingga bila ada suatu tuntutan, tuduhan atau gugatan malpraktek kedokteran, penyelesaian dapat melalui berbagai peraturan perundangan yang ada, dapat melalui jalur pidana, perdata, perlindungan konsumen, Majelis disiplin, atau peraturan-peraturan lainnya. Masyarakat dan media menganggap bahwa setiap hasil perawatan dokter tidak sesuai dengan harapan, misalnya tidak sembuh, kecacatan atau kematian adalah malpraktek. Sebagaian pihak kepolisian atau kejaksaan biasanya berpendapat bahwa kematian atau kecacatan pada perawatan dokter pasti bukan suatu kesengajaan, jadi tidak merupakan malpraktek. Akan tetapi pihak kepolisian atau kejaksaan kadang-kadang menganggap bahwa kematian atau kecacatan pada perawatan oleh dokter mungkin akibat suatu kelalaian atau kealpaan (negligence) dan dapat diproses dengan menggunakan KUHP pasal 359, pasal 360, dan pasal 361, yaitu kealpaan yang menyebabkan kematian atau kecacatan. Beberapa pengacara menganggap bahwa semua perawatan dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien, baik kematian, kecacatan atau komplikasi, dianggap sebagai suatu malpraktek dan dapat digugat dengan menggunakan KUH Perdata pasala 1365, pasal 1366 atau pasal 1367. Lembaga perlindungan konsumen, beranggapan bahwa dokter adalah pelaku usaha, sehingga dapat dikenai Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Kematian, kecacatan atau ketidak sembuhan pada perawatan pasien oleh dokter atau rumah sakit, merupakan ingkar janji atau tidak memenuhi apa yang diharapkan oleh pasien dan keluarganya.
Ketidakpastian seperti uraian diatas bisa menyebabkan para dokter selalu bekerja dengan penuh kekhawatiran dan was-was, jangan-jangan upaya dokter untuk mengobati pasien malahan berakibat tuduhan atau gugatan malpraktek. Dokter beranggapan bahwa belum tentu suatu hasil perawatan yang tidak sesuai dengan harapan pasien, misalnya kematian, kecacatan atau komplikasi akibat perawatan, merupakan malpraktek. Sebab hasil akhir suatu perawatan kedokteran sangat bervariasi dan dapat merupakan perjalanan atau komplikasi penyakit (clinical course of the desease), resiko akibat pengobatan yang tak dapat diramalkan (medical risk), resiko akibat tindakan operatif (surgical risk), efek samping pengobatan (side effect/adverse reaction), keterbatasan fasilitas (limitation of resources), kemalangan medik (medical accident), diagnosis yang kurang tepat (error of judgement), kelalaian medik (medical negligence), malpraktek medik (medical malpractice).
Di dalam beberapa kepustakaan, dikenal berbagai batasan malpraktek, seperti dalam Coughlin’s dictionary of Law menyatakan :
“Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, internatinal wrongdoing, or illegal or unethical practice”
Malpraktek adalah “sikap tindak profesional yang salah dari seorang profesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kurang kehati-hatian di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, tindakan salah yang disengaja atau praktek yang bersifat tidak etis”.
Harus dibedakan antara malpraktek medik dengan suatu hasil yang tidak diharapkan yang timbul pada perawatan dan pengobatan medik yang bukan merupakan kesalahan dokter. Malpraktek dokter adalah karena tidak melaksanakan standar perawatan terhadap pasien, atau kurangnya keterampilan atau kelalaian dalam memberikan perawatan pada pasien yang secara langsung mengakibatkan kerugian atau perlukaan pada pasien. Suatu kerugian atau perlukaan yang terjadi dalam perjalanan perawatan medik yang tidak dapat diramalkan, dan bukan akibat kurang keterampilan atau pengetahuan dokter yang merawat merupakan suatu hasil tak diharapkan, untuk itu dokter seharusnya tidak dapat dipersalahkan.
Pengertian malpraktek medik seringkali dikaitkan dengan kelalaian medik (medical negligence), sehingga Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai anggota World Medical Association (WMA), tentunya juga akan mengikuti batasan malpraktek yang dianut oleh WMA, yaitu :
Malpraktek kedokteran meliputi dokter yang tidak melaksanakan standar perawatan terhadap pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan pada pasien yang secara langsung mengakibatkan kerugian atau perlukaan pada pasien.
Dengan demikian kelalaian dalam memberikan perawatan yang secara langsung menyebabkan kerugian atau perlukaan pada pasien dapat digolongkan pada malpraktek kedokteran. Kelalaian medik harus mengandung syarat antara lain :
1. Adanya kewajiban profesi (duty) yaitu mempergunakan segala kemampuannya untuk menyembuhkan atau mengurangi penderitaan pasien, bertindak secara hati-hati dan teliti, bertindak sesuai dengan standar profesi, meminta persetujuan setelah penjelasan (informed consent)
2. Penyimpangan kewajiban (dereliction of the duty)
Tindakannya menyimpang dari apa yang seharusnya : dilakukan tanpa indikasi yang benar, tidak sesua standar profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. Pembuktian penyimpangan dilakukan oleh saksi ahli.
3. Kerugian diserita pasien (damage)
4. Hubungan sebab akibat langsung
Bahwa kerugian yang dialami pasien merupakan akibat langsung dari penyimpangan yang dilakukan dokter.
Malpraktek medik dan kelalaian medik seringkali digunakan secara bergantian seolah-olah keduanya mempunyai arti yang sama didalam menyelesaikan masalah sengketa medik. Tetapi sebenarnya malpraktek tidak sama dengan kelalaian. Jika dilihat dari definisi dalam uraian diatas bahwa malpraktek mempunyai arti yang lebih luas daripada “negligence”. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus) dan melanggar Undang-undang. Sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (alpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, ceroboh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukan disengaja dan bukan menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktek murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice) memang tidak banyak, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya. Sedangkan malpraktek karena kelalaian misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau tidak hati-hati sehingga pasien penyakitnya menjadi bertambah berat dan kemudian meninggal.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari sebenarnya akibat yang tidak diinginkan dari suatu hubungan dokter-pasien bisa pula terjadi bukan karena kesalahan dokter sepihak. Hal ini dapat terjadi juga karena kesalahan pasien yang tidak secara jujur mengungkapkan apa yang dirasakan atau dinyatakan kepada dokter pada waktu anamnesa (pemeriksaan fisik), dapat pula karena pasien tidak mentaati nasihat dokter. Keadaan lain yang mempengaruhi terjadinya akibat negatif ini adalah keadaan penyakit yang sudah lanjut, terlambat diobati secara dinii. Atau dapat pula terjadi karena reaksi hipersensitivitas yang tidak dapat diperhitungkan terlebih dahulu, misalnya suntikan obat yang biasanya tidak menimbulkan reaksi alergi tiba-tiba pada pasien tertentu bereaksi alergi.
Adanya penyimpangan dari standar profesi medis, adanya kesalahan dan kategori dari akibat yang terjadi maka aspek pidana mensyaratkan adanya kelalaian berat dan terjadinya akibat yang serius atau fatal. Sedangkan aspek perdata adalah adanya kelalaian ringan untuk mengganti kerugian terhadap akibat yang ditimbulkan.
Dipublikasikan Oleh:
Atik NorhayatiMahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijayahttp://kabar-pendidikan.blogspot.com
Belum ada tanggapan untuk "Artikel: Etika dan Malpraktek Kedokteran"
Posting Komentar