Ruang Lingkup, Tujuan, Fungsi dan Pendekatan PAI di Sekolah
Dalam Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan Hadis, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).
Pendidikan agama di sekolah bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menajadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Malik Fajar dalam bukunya Holistika Pemikiran Pendidikan Islam”menggambarkan pendidikan seperti” ibadah haji. Diungkapkannya bahwa ibadah haji merupakan totalitas ibadah manusia kepada Tuhan. Suatu ibadah yang mensyaratkan akumulasi berbagai ”kemampun” (istitha’ah), antara lain: kemampuan fisik, akal, dan spiritual serta materi. Ibadah haji tidak akan sempurna bila para jama’ah yang melaksanakannya memiliki kekurangan dari beberapa kemampuan dasar tersebut.
Dalam kaitannya dengan era globalisasi saat ini, maka dibutuhkan adanya kepekaan intelektual (intelectual ability) dan emosional (emotional maturity) secara seimbang untuk menghadapi aneka persoalan dasar yang mendera umat manusia. Karena itu, pendidikan Islam sudah sepatutnya mengagendakan aksi-aksi pemecahan masalah yang layak, tepat, dan efektif terhadap berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh para peserta didik.
Oleh karena itu, pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai agama. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.
Adapun secara lebih spesifik, tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas sebagai fokus dari penelitian ini antara lain:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Sedangkan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah umum berfungsi untuk:
a. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik secara optimal, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
b. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman dalam meniti kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia ini maupun di akherat kelak.
c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan.
d. Perbaikan kesalahpahaman, kesalahan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif baik yang berasal dari pengaruh budaya asing maupun kehidupan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
f. Pengajaran tentang pengetahuan ilmu keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya dalam kehidupan sehingga terbentuk peribadi muslim yang sempurna.
g. Penyiapan dan penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Dari pesrpektif pengembangan kurikulum, terdapat tiga kategori pendekatan dalam penyelenggaraan pendidikan agama, yaitu:
a. Pendekatan sistem/teknologi (technology based curriculum).
b. Pendekatan berpusat pada peserta didik/humanistik (learner based curriculum).
c. Pendekatan berpusat masalah/inkuiri (problem based curriculum).
Pendekatan sistem/teknologi (technology based curriculum) yaitu kurikulum dikembangkan berdasarkan sistematisasi disiplin keilmuan. Pembelajaran dikembangkan menggunakan proses linier atau progresif di mana isi yang diajarkan dapat dianalisis secara kritis, dibagi dalam segmen-segmen dan diorganisasikan ke dalam batang tubuh keilmuan (body of knowledge) secara berurutan dengan hasil belajar peserta didik yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pendekatan ini sangat berstandar, meski tidak secara eksklusif. Pada hal-hal atau kemampuan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang membutuhkan penekanan penguasaan secara kompeten, diperlukan proses kedisiplinan yang ketat dan metode pembelajaran yang konvergen. Pendekatan ini mempersyaratkan pencapaian standar kualifikasi kompetensi keilmuan yang di persyaratkan, penguasaan keteramilan sesuai prosedur/tata asa, sistem penilaian harus teruji atau terukur secara jelas sesuai penguasaan standar kompetensinya.
Pendekatan ini antara lain melahirkan yang sekarang disebut dengan pendekaran kurikulum berbasis kompertensi (KBK).
Pendekatan berpusat pada peserta didik/humanistik (learner based curriculum), memandang pengajaran lebih holistik di mana belajar difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Pengembangan kurikulum lebih menekankan pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik.
Pendekatan ini menekankan model pembelajaran interdisipliner atau integrated curriculum yang didasarkan pada psikologi humanistik dimana pengembangan individu (domain afektif)sama pentingnya dengan apa yang akan diajarkan (domain kognitif). Guru sering mengacu pada “teachable moment” ketika peserta didik memperlihatkan minat khusus pada bidang pengetahuan tertentu. Guru membimbing peserta didik dalam mengeksplorasi topik/tema terhadap pembelajaran baru tersebut. Pendekatan ini sekarang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum pendidikan anak usia dini (PAUD), yaitu pendidikan anak usia 3-4 tahun sampai 8 tahun atau pendidikan TK–SD/MI kelas 1-3 dengan pembelajarn tematik, pembelajaran IPS, dan pembelajaran IPA terpadu.
Pendekatan berpusat masalah/inkuiri (problem based curriculum) memandang pembelajaran merupakan proses mencari dan menemukan makna. Dalam proses pembelajaran lebih menekankan pada kemampuan menetapkan ideologi ilmiah yang digunakan pada setiap disiplin ilmu yang diajarkan. Pembelajaran apapun yang digunakan harus mampu membangun keterampilan inkuiri ilmiah peserta didik serta menjadikannya sebagai kendaraan dalam mempelajari isi yang diajarkan. Pendekatan ini disadarkan pada psikologi gestalt dan teori belajar perseptual/lapangan dimana pembelajaran dipandang sebagai proses unik dan individualistik. Tiap individu mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya dan kontek lingkungan melalui konektor atau penghubung otak. Proses ini menghasilkan pembelajaran pengalaman “menakjubkan” yang muncul bersama dengan makna bagi individu yang melakukan inkuiri. Pendekatan ini sekarang banyak diterapkan antara lain dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Llearning (CTL), Problem Based Learning (PBL), PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menarik/Menyenangkan), pendidikan kecakapan hidup (life skill) dan lainnya.
Dilihat dari posisi dan hubungannya dengan mata pelajaran lain, terdapat tiga paradigma yang digunakan dalam mengembangkan pendidikan Agama Islam, yaitu :
a. Paradigma Dikotomis
Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikoto¬mi atau diskrit, sehingga dikenal ada istilah pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam hanya berki¬sar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama.
b. Paradigma Mekanis
Paradigma mekanis memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penana¬man dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fung-sinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidu¬pan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (inde¬pendent) atau lateral-sekuensial.
c. Paradigma Organis
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan funda¬mental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mem¬punyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengeta¬huan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Setidaknya, apa yang diwarningkan oleh Tilaar cukup menjadi dasar pilihan paradigma tersebut. Menurutnya, apabila ilmu-ilmu agama diposisikan secara terpisah (formisme) atau dalam posisi sejajar (mekanisme), maka akan sangat membahayakan eksistensi kehidupan manusia. Misalnya kasus kloning yang mulai dikembangkan pada manusia sebagai bentuk kemajuan dari bioteknologi adalah wujud kongrit ketika agama dan ilmu pengetahuan diposisikan dalam hubungan yang terpisah dan independent (horizontal-lateral).
Sedangkan berbagai pendekatan pembelajaran pendidikan agama di sekolah yang dapat dilakukan oleh para guru agama antara lain:
a. Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk jagad ini.
b. Pengamalan, memberikan kesempatan peserta didik untuk mempraktikkan dan merasakan hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c. Pembiasaan, memberikan kesempatan peserta didik untuk berperilaku baik sesuai ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d. Rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan bahan ajar dalam materi pokok serta kaitannya dengan perilaku baik dan buruk dalam kehidupan duniawi.
e. Emosional, upaya menggugah perasaan atau emosi peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai ajaran agama dan budaya bangsa.
f. Fungsional, menyajikan semua materi pokok dan manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
g. Keteladanan, menjadikan figur guru agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua sebagai cermin manusia berkepribadian agama.
Dengan demikian, para pakar dan praktisi pendidikan khususnya PAI apabila merujuk pada ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI sebagaimana yang tertuang dalam Pedoman Kurikulum PAI di sekolah sudah sangat lengkap dan meliputi seluruh unsur domain peserta didik, baik dari kognitif, afektif maupun psikomotorik. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih ada bagian ruang lingkup, fungsi dan pendekatan PAI yang tidak dapat diterapkan oleh para praktisi pendidikan ditambah rendahnya daya serap siswa terhadap materi yang diterima. Dari akar permasalahan inilah akhirnya memunculkan problematika PAI di sekolah.
Daftar Pustaka:
1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK, Lampiran 3, hal. 1
2. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 159-160
3. Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
4. A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hal. 44-68.
5. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK, Lampiran 3, Ibid., hal. 2
6. Muhaimin dkk., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Op.Cit., hal. 6-8.
7. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad XXI, Magelang: Tera Indonesia, 1998, hal. 260.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ruang Lingkup, Tujuan dan Pendekatan PAI di Sekolah"
Posting Komentar