Dewasa ini pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai prloblem mulia dari ketikmerataan akses pendidikan, kurang efektif dan efisien, ketidakrelevanansian lulusan dengan dunia kerja hingga pada mutu pendidikan. Dan itu semua merupakan masalah-masalah besar yang harus dicermati dan dicari pemecahannya. Adanya problem tersebut dikarenakan keterbatasan keuangan yang dimiliki, baik oleh orang tua maupun pihak sekolah. Menurut saudara apa hubungan Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam dengan empat masalah pokok pendidikan nasional tersebut!
Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD cukup bagus sebesar 94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.
Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/06 (data dari Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar 42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU.
Beberapa penyebab terjadinya ketidakmerataan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah karena aspek kemiskinan yang dibarengi dengan biaya oportunitas dan aspek pembiayaan pendidikan yang dibarengi oleh korupsi dana pendidikan.
Diakui atau tidak, setiap penduduk di negeri ini belumlah dapat mengenyam bangku pendidikan. Kita bisa melihat hampir di manapun selalu dijumpai anak putus sekolah karena berbagai faktor seperti biaya sekolah yang melangit. Ditambah lagi angka buta huruf dimasyarakat Indonesia. Jika mengacu pasal konstitusi, anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya dan skolah tidak lagi menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orangtua siswa. UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sisdiknas pun menggariskan agar pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Yang jelas, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini. Biaya pendidikan yang mahal telah merambah di hampir semua jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah maupun jenjang pendidikan tinggi, sehingga masyarakat miskin tidak dapat mengakses pendidikan karena biaya yang mahal tersebut.
Upaya pemerataan pendidikan agar terakses bagi seluruh kalangan bukanlah hal baru, misalnya kebijakan penyaluran dana BOS . Pemberian bantuan tersebut diasumsikan sebagai bentuk stimulan bagi pendidikan. Pada praktik di lapangan, beragam program pendidikan tersebut belum berjalan secara efektif. Semangat menyelenggarakannya belum sinkron dengan sistem pendidikan yang sudah terstruktur demikian lama.
Beragam faktor menjadi penyebab belum meratanya kebijakan pendanaan pendidikan selama ini. Lemahnya database dunia pendidikan kita menjadi salah satu faktor penyebabnya. Patut diakui rendahnya pemahaman akan validitas dan reabilitas data berimbas pada dunia pendidikan kita. Kebijakan pendidikan agar menyentuh semua lapisan pendidikan menjadi pekerjaan tersendiri bagi pihak pemerintah. Pemerataan kebijakan bagi pendidikan ini secara konseptual haruslah menyentuh seluruh lapisan pendidikan baik menyangkut peserta didik maupun pihak–pihak penyelenggara pendidikan2
Agar pemerataan pendidikan terwujud dan pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan, maka dalam hal strategi pembiayaan pemerintah harus benar-benar terfokus untuk membuat APM mencapai angka minimal 95% untuk level SD dan SMP sebagai program wajib belajar sembilan tahun. SD dan SMP ini harus dibenahi terlebih dahulu. Kalau sudah tercapai pemerataan pendidikan untuk SD dan SMP, maka baru pemerintah memperhitungkan untuk pendidikan level SMU dan Perguruan Tinggi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana pemerintah. Yang perlu ditekankan adalah pemerintah harus benar-benar terfokus pada dana bantuan untuk anak-anak orang miskin baik untuk dana pendidikan dan dana untuk biaya oportunitasnya. Pemerintah harus memperhitungkan biaya oportunitas dalam memberi bantuan kepada anak orang miskin yang bersekolah di level SD dan SMP. Pemerintah harus menjamin dana untuk mereka sampai mereka tamat SD dan SMP. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk putus sekolah.
Pemerintah tidak pelu menggratiskan semua anak yang masuk sekolah dasar dan sekolah menengah karena tidak semua anak yang masuk sekolah dasar atau menengah yang tidak mampu atau miskin. Yang perlu dibantu itu adalah hanya anak orang miskin. Jadi dengan memfokuskan bantuan kepada anak orang miskin untuk bersekolah pada level pendidikan SD dan SMP serta memperhitungkan biaya oportunitasnya maka diharapkan APM dapat mencapai 95% untuk SD dan SMP atau terjadi pemerataan pendidikan untuk pendidikan sembilan tahun.
Secara keseluruhan, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan meliputi:3
1. Pendanaan satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar (wajar).
2. Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di sekolah/madrasah, termasuk di pesantren salafiyah, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya, serta satuan/program pendidikan nonformal
3. Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di SLB dan sekolah inklusif
4. Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar
5. Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan pelaksana program wajar
6. Penyediaan sarana dan prasarana satuan pendidikan pelaksana program wajar
7. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia di atas 15 tahun
8. Perluasan akses pendidikan melalui ICT dan TV Edukasi
9. Perluasan pendidikan kecakapan hidup, termasuk bagi santri Pondok Pesantren
10. Perluasan akses SMA/MA/SMK/MAK dan SM terpadu
11. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/MA/MAK/SM Terpadu, SLB, dan PT
12. Peningkatan akses lulusan SMA/MA berprestasi/berbakat istimewa ke pendidikan lanjutan di PT Unggulan di dalam dan luar negeri
13. Perluasan akses PT/PTA
14. Pelaksanaan advokasi pendidikan yang responsif gender
15. Perluasan akses PAUD, termasuk TK, RA, BA, KB, TPA, TPQ
Kedua, terkait dengan relevansi pendidikan, pendidikan Indonesia dihadapkan pada rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 4 Rendahnya relevansi dan penyerapan tenaga kerja terdidik ditunjukkan oleh tingginya angka pengangguran terdidik (4,5 juta pada Februari 2008).
Adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri, menimbulkan kebutuhan peningkatan kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik. Keanekaragaman pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh sektor jasa ini sangat mempengaruhi jenis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Salah satu sudut pandang mengatakan bahwa sektor pendidikanlah yang berkewajiban menyediakan keterampilan yang diperlukan oleh lapangan kerja. Dengan demikian pendidikan formal di sekolah harus berorientasikan kepada peningkatan keterampilan anak didik. Ini berarti juga penyesuaian kurikulum dan penyediaan program keterampilan di sekolah.
Peningkatan mutu dan relevansi dalam rangka meningkatkan daya saing lulusan sudah merupakan suatu keharusan. Kegagalan lulusan (misalnya PT) memasuki dunia kerja adalah karena masih rendahnya mutu dan tidak relevannya kompetensi lulusan dengan dunia kerja. Kesadaran Perguruan Tinggi dalam upaya menaikkan mutu dan relevansi ini masih terkendala oleh sumberdaya manusia (dosen) dan sumberdaya financial (terutama PTS). Untuk mengatasi kendala itu, sering kemudian terjadi trade-off antara peningkatan jumlah mahasiswa, biaya SPP dan kualitas pendidikan.
Untuk menjamin konsistensi mutu dan relevansi pendidikan dibutuhkan sebuah organisasi pengelola yang sehat. Ciri-ciri organisasi yang sehat adalah berkembangnya suasana akademik yang menciptakan kebebasan akademik, mendorong inovasi, kreativitas dan ide-ide setiap individu; Terciptanya sistem nilai, norma, tata tertib dan prosedur operasi standar yang memungkinkan terjadinya team building dan team spirit, sehingga aktivitas kelompok-kelompok menjadi lebih produktif dan maksimal; Terbentuknya kemampuan memasarkan hasil-hasil kegiatan penelitian; Berlakunya prinsip meritokrasi sehingga tercipta motivasi individual untuk bekerja keras dan meraih keunggulan; Berkembangnya kemampuan untuk menjalin kerjasama yang berkelanjutan di dalam maupun diluar perguruan tinggi, ditingkat nasional maupun internasional; Terciptanya akuntabilitas publik (kinerja, keuangan, nilai keilmuan).5
Ketiga, terkait dengan mutu pendidikan, pendidikan di Indonesia dihadapkan para rendah mutu pendidikan baik di tingkat dasar dan menengah dan pemerintah telah melalukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi semua upaya itu belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Jika dicermati ada beberapa faktor yang menyebakan rendahnya mutu pendidikan. Menurut Isjoni ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa upaya perbaikan pendidikan selama ini kurang berhasil, diantaranya: pembangunan pendidikan bersifat input-output oriented, pengelolaan pendidikan bersifat makro oriented, sistem pendidikan mengarah pada kognitif oriented, dan program pembangunan pendidikan lebih berorientasi pada bangunan fisik,6 kurangnya kemandirian sekolah dalam memberdayakan sumber daya pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan minimnya peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan.7
Mutu pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, ini merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. mutu pendidikan mempunyai kontinum dari rendah ke tinggi. Dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem, mutu pendidikan dapat dipandang sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran, kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya.
Edward Sallis menyatakan: “Ada banyak sumber mutu dalam pendidikan, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang tua, bisnis dan komunitas lokal, sumberdaya yang melimpah, aplikasi teknologi mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajaran anak didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut”.8 Pernyataan diatas menunjukkan banyaknya sumber mutu dalam bidang pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu kualitas pendidikan, atau faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Keempat, terkait dengan efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan.
Menurut Bobbit (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Suatu contoh efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Jembrana-Bali. Kabupaten Jembrana sejak tahun 2001 yang mampu memberikan pendidikan gratis 12 tahun bagi warga asli daerah tersebut. “Pemerataan pendidikan, manajemen pendidikan yang efektif, dan peningkatan partisipasi masyarakat merupakan pijakan dalam memuluskan program pendidikan di Jembrana”.
Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan yang relatif kecil dan terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada kebutuhan yang beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah raga. Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium, maka keputusan yang paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa.9
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.
Dalam merancang dan menyususn Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu.
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber:
www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com
www.arminaperdana.blogspot.com, http://grosirlaptop.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pembiayaan Pendidikan"
Posting Komentar