Inovasi sebagai bagian dari perubahan sosial memerlukan adanya pengelolaan (manajemen) yang mantap, matang dan cermat agar inovasi tersebut dapat terarah pada tujuan yang akan dicapai. Untuk memenuhi keperluan tersebut, Zaltman (1972: 23-40) mengemukakan suatu model yang disebut “(Change Management System)”.
Manajemen sendiri menurut Stoner dalam Sumidjo dan Soebedjo (1986: 2-4) adalah manajemen merupakan serangkai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, maka manajemen inovasi pendidikan adalah serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan mengendalikan (mengawasi dan menilai) segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia dan non manusia secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan inovasi pendidikan yang telah ditetapkan.
Manajemen perubahan sosial (Change Management System) menurut Zaltman (1972: 23) memiliki 3 sub-sistem yaitu: (1) Sub-sistem organisasi yang meliputi perencanaan dan pengorganisasian; (2) Sub-sistem komunikasi yang meliputi pelaksanaan dan difusi inovasi; (3) Sub-sistem target perubahan yang meliputi proses keputusan oleh adopter yang selanjutnya menjadi bahan penilaian pelaksanaan inovasi. Sistem pengelolaan perubahan sosial tersebut bertujuan untuk mengadakan perubahan sosial.
Sedangkan beberapa pakar manajemen lain, seperti Hersey dan Blanchard (1982) membagi fungsi manajemen menjadi empat yang disingkat dengan POMC, yaitu: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), motivating (penggerakan) dan controlling (pengawasan). Siagian (1983) mengemukakan lima fungsi manajemen, yaitu: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), motivating (penggerakan), controlling (pengawasan) dan evaluation (penilaian).
Berdasarkan beberapa pembagian fungsi manajemen tersebut, fungsi manajemen pendidikan yang dikemukakan di sini adalah planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), motivating (penggerakan) dan controlling (pengawasan) dan evaluation (peneliaian). Kelima rangkaian kegiatan tersebut menurut Morris (1976: 51) merupakan rangkaian pelbagai kegiatan wajar yang telah ditetapkan dan memiliki hubungan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya dan dilaksanakan oleh orang atau lembaga yang diberi tugas untuk melakukan kegiatan tersebut.
1. Perencanaan (planning)
Yehezkel Dror dalam Sudjana (2000: 62) mengemukakan: “Planning is the procces of preparing a set of decision for action in the future directed as achieving goals by preferable means”. Definisi tersebut mengandung arti bahwa perencanaan merupakan suatu proses untuk mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan pada masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan sarana yang tersedia.
Perencanaan bukanlah kegiatan tersendiri, melainkan merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan (Sudjana, 2000: 61). Proses pengambilan keputusan itu dimulai dengan perumusan tujuan, kebijaksanaan, dan sasaran luas yang kemudian berkembang pada tahapan tujuan dan kebijaksanaan dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk dilaksanakan (Schaffer, 1970).
Secara umum, perencanaan meliputi 3 jenis, yaitu:
a. Perencanaan alokatif (allocative planning).
Perencanaan ini ditandai oleh upaya penyebaran atau pembagian (alokasi) sumber-sumber yang jumlahnya terbatas kepada kegiatan-kegiatan dan pihak-pihak yang akan menggunakan sumber-sumber tersebut yang jumlahnya lebih banyak. Cirri-ciri perencanaan alokatif ialah: (1) perencanaan dilakukan secara komperhensif; (2) adanya keseimbangan dan keserasian antara komponen kegiatan. Sedangkan tipe perencanaan ini adalah: (1) perencanaan berdasarkan perintah; (2) perencanaan berdasarkan kebijakan; (3) perencanaan berdasarkan persekutuan; (4) perencanaan berdasarkan kepentingan peserta (Sudjana, 2000: 65-90).
b. Perencanaan inovatif (innovatif planning)
Perencanaan inovatif merupakan proses penyusunan rencana yang menitikberatkan perubahan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan masalah yang timbul di masyarakat. Ciri pokok perencanaan ini adalah: (1) pembentukan lembaga baru; (2) orientasi pada tindakan atau kegiatan; (3) penggerakan sumber-sumber yang diperlukan (Sudjana, 2000: 90-99).
c. Perencanaan strategi (strategic planning)
Perencanaan strategi merupakan bagian dari manajemen strategi. Fungsi manajemen strategis adalah untuk mendayagunakan pelbagai peluang baru yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang. (Sudjanan, 2000: 99-102)
Ketiga jenis perencanan tersebut dapat dipergunakan dalam perencanaan inovasi pendidikan sesuai dengan tujuan inovasi pendidikan dan situasi dan kondisi lingkungan pada saat inovasi pendidikan digagas.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Flippo dan Musinger (1975: 114) mengemukakan bahwa pengorganisasian adalah kegiatan merancang dan menetapkan komponen pelaksanaan suatu proses kegiatan yang terdiri atas tenaga manusia, fungsi dan fasilitas. Sedangkan Hersey (1982) mendefinisikan pengorganisasian sebagai kegiatan memadukan sumber-sumber yaitu manusia, modal dan fasilitas serta menggunakan sumber-sumber itu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, pengorganisasian inovasi pendidikan adalah usaha untuk mengintegrasikan sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi yang diperlukan dalam satu kesatuan untuk menjalankan kegiatan sebagaimana direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Siagian (1982: 4-5) membedakan pengoragnisasian menjadi dua bagian yang saling terkait, yaitu: (1) administrative organizing, yaitu proses pembentukan organisasi secara keseluruhan; (2) managerial organizing, yaitu pengorganisasian bagian-bagian dari organisasi keseluruhan tersebut.
Sedangkan prinsip pengorganisasian menurut Carzo dalam Connor (1974: 3) terdiri atas: (a) kebermaknaan, yaitu memiliki daya guna dan hasil guna yang tinggi terhadap pelaksanaan kegiatan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan; (b) keluwesan yang memberi peluang untuk terjadinya perubahan; (c) kedinamisan yang menjadi acuan bagi setiap orang dalam organisasi untuk mengembangkan kreatifitas dalam melaksanakan tugas pekerjaan, menjalin hubungan dan kedinamisan terhadap gajala perubahan yang terdapat dalam lingkungan.
Pengorganisasian perlu dilakukan dalam beberapa urutan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Urutan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. memahami tujuan, kebijaksanaan, rencana dan program yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan;
b. penentuan tugas-tugas yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan dan aturan yang berlaku;
c. memilah penggalan pelbagai tugas secara sederhana, logis, menyeluruh, dan mudah dimengerti yang kemudian diikuti dengan pengelompokan tugas;
d. menentukan pembagian batas-batas yang jelas tentang tugas pekerjaan yang akan dilakukan oleh begian-bagian yang sejajar maupun hirarkis dalam organisasi;
e. menentukan persyaratan (kualitas dan kuantitas) bagi orang-orang yang diperlukan untuk melakukan tugas pekerjaan berdasarkan bagian-bagian pekerjaan dan kedudukan dalam organisasi;
f. menetapkan prosedur, metode dan teknik kegiatan yang cocok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Penggerakan (Motivating)
Penggerakan atau motivating menurut Siagian (1982: 128) adalah keseluruhan proses pemberian motivasi bekerja kapada bawahan sedemikian rupa sehingga mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis. Sedangkan Hersey dan Blanchard (1982) mendefinisikan penggerakan sebagai kegiatan untuk menumbuhkan situasi yang secara langsung dapat mengarahkan dorongan-dorongan yang ada dalam diri seseorang atau sekelompok orang kepada kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Berdasarkan jenisnya, motivasi dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu: (a) dari segi dasar pembentukannya, yang meliputi motivasi bawaan dan motivasi yang dipelajari; (b) dari segi sumbernya, meliputi motivasi instrinsik dan ekstrinsik; (c) dari segi sifatnya, meliputi motivasi yang bersifat menyadarkan, dan motivasi yang bersifat paksaan. (Sudjana, 2000: 162)
Adapun fungsi motivasi adalah: (a) sebagai pendorong seseorang atau sekelompok orang, mengingat tidak semua orang yang mengetahui bahwa sesuatu bermanfaat baginya akan melakukannya sehingga orang/sekelompok orang tersebut perlu dimotivasi; (b) sebagai penentu arah kegiatan dengan maksud untuk menjaga dan meluruskan kegiatan yang telah ditetapkan sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana seharusnya oleh orang/sekelompok orang yang dimotivasi secara efektif dan efesien; (c) sebagai penyeleksi kegiatan atau perbuatan pihak yang dimotivasi mengingat terkadang seseorang/sekelompok orang sulit menentukan aktifasi mana yang harus dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Sudjana, 2000: 162-163).
Sedangkan mengenai tujuan umum motivasi menurut Sudjana (2000: 163-164) adalah untuk memberikan dorongan kepada seseorang atau kelompok untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. Selain itu, penggerakan bertujuan untuk membangkitkan keinginan seseorang atau sekelompok orang agar berbuat sesuai dengan yang dikehendaki.
Etheridge (1974) mengemukakan enam aspek psikis yang perlu dimotivasi yaitu:
a. drive (dorongan atau desakan dari dalam diri manusia) seperti rasa lapar dan haus yang dapat dimanfaatkan oleh pemimpin atau penyelenggara program untuk menggerakkan staf dan pelaksana program lainnya dengan mengaitkan kegiatan untuk memenuhi dorongan atau desakan sebagai tujuan antara dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
b. stimulation (rangsangan terhadap alat dria). Alat dria, terutama pancaindera merupakan sumber untuk melakukan aktifitas serta untuk meningkatkan perilaku pihak atau sasaran yang digerakkan;
c. level of aspiration (tingkatan harapan) yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam mewujudkan harapannya tersebut. Suatu harapan yang telah terpenuhi dengan berhasil akan mendorong seseorang untuk memenuhi harapan lainnya yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, harapan yang tidak terpenuhi dengan baik akan menurunkan harapan orang tersebut.
d. goal setting (tujuan yang ingin dicapai). Orang yang telah menetapkan suatu tujuan yang hendak dicapai, cenderung akan mengarahkan perilakunya untuk mewujudkan tujuan tersebut.
e. crises (krisis yang dalam) yang menurut Sheeby (1974) terjadi pada setiap peralihan dalam fase perkembangan orang dewasa yaitu sekitar umur 18 tahun ketika seseorang mulai berpisah dari orang tuanya, sekitar umur 20 tahun ketika seseorang mulai memikirkan untuk memperoleh pekerjaan dan membina keakraban, menjelang usia 30 tahun di saat seseorang sering mengevaluasi pengalaman lalu dan menjajagi kesempatan di masa yang akan datang, awal usia 30 tahun di mana seseorang mulai memapankan diri dan berpikir lebih rasional, sekitar umur 45-50 di mana sebagian orang merasakan kestabilan dalam hidupnya, merasakan gairah hidup dalam kehidupan pribadi atau pekerjaannya dan ada pula orang yang mengalami kemunduran dalam kehidupan pribadi, keluarga atau pekerjaan;
f. needs (kebutuhan) yang mendorong, menguatkan, dan mengarahkan perilaku seseorang untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan tersebut maupun untuk mencapai sesuatu tujuan.
Berkaitan dengan kebutuhan ini, Abraham Maslow (1954) dalam Mulyasa (2002: 121-122) mengemukakan teori jenjang atau hirarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan yang peling rendah dan menuju kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan paling rendah menjadi syarat untuk memenuhi setiap kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan Fisiologis (physicological needs), kebutuhan aman (safety needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan untuk diakui dan dihargai (esteem needs), kebutuhan pengembangan diri atau aktualisasi diri (self-actualization needs).
Kebutuhan fisiologis (phisicological need) merupakan kebutuhan yang paling rendah dan memerlukan pemenuhan yang paling mendesak seperti kebutuhan akan makanan, minuman, air, dan udara. Kebutuhan tingkat kedua, kebutuhan akan rasa aman (safety needs) merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dan keadaan lingkungan, seperti kebutuhan akan pakaian, tempat tinggal, dan perlindungan atas tindakan sewenang-wenang.
Selanjutnya, kebutuhan akan kasih sayang (social needs), merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan efektif atau ikatan emosional dengan individu lain, seperti rasa disayangi, diterima dan dibutuhkan orang lain. Kebutuhan akan rasa harga diri (esteem needs) yang terdiri atas dua bagian, yaitu penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan penghargaan dari orang lain. Misalnya, hasrat untuk memperoleh kekuatan pribadi dan penghargaan atas sesuatu yang dilakukan. Terakhir, kebutuhan akan aktualisai diri (self-actualization needs). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling tinggi dan akan muncul apabila kebutuhan di bawahnya sudah terpenuhi. Contoh kebutuhan ini antara lain seseorang pemusik menciptakan suatu komposisi musik.
Selain teori yang dikemukakan oleh Maslow tersebut, teori motivasi lain juga dikembangkan oleh Clyaton Alderfer yang dikenal dengan akronim “ERG” (Siagian, 2002: 289). Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah, yaitu:
E = Existence
R = Relatedness
G = Growth
Teori Alderfer tersebut secara konseptual mempunyai persamaan dengan teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow, di mana “Existence” dapat dikatakan identik dengan hirarki pertama (kebutuhan rasa aman atau safety needs); “Relatedness” senada dengan hirarki ketiga (kebutuhan kasih sayang atau belongingness and love needs) dan Maslow; dan “Growth” mengandung makna yang sama dengan kebutuhan akan aktualisasi diri (needs for self actualization) yang dikemukakan oleh Maslow.
Perbedaan signifikan diantara kedua teori tersebut adalah bahwasanya teori Alderfer menekankan pada pelbagai jenis kabutuhan manusia yang mendalam pemenuhannya dilakukan secara serentak, tidak berdasarkan urutan tertentu sebagaimanan dirumuskan oleh Maslow.
Secara rinci, teori kebutuhan Alderfer tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Existence
Kebutuhan ini terdiri atas kebutuhan dasar setiap orang yang meliputi kebutuhan untuk memeroleh pendapatan, memiliki sandang, pangan dan papan (perumahan), kesalahan (istirahat), kesegaran jasmani, lingkungan yang tenang dan bersih, rekreasi, dan lain sebagainya. Di samping itu, kebutuhan ini juga meliputi pelbagai kebutuhan akan rasa aman yang mencakup kebutuhan untuk terhindar dari kemunduran dalam kehidupan, kemerosotan dalam karir, ketidaktenangan karena suara bising, cahaya suram atau silau, terhindar dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, kecelakaan, dan hal lain yang dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan.
b. Relatedness
Kebutuhan ini terdiri atas kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki yang mencakup kebutuhan terhadap pergaulan yang bersahabat, kebahagiaan dalam keluarga, dan keakraban pergaulan dengan orang lain. Kebutuhan ini juga berkaitan dengan rasa memperoleh tempat dalam kelompok, rasa memiliki terhadap kelompok dan dimiliki oleh kelompok, serta rasa mencintai dan dicintai oleh orang lain. Kebutuhan manusia untuk diakui dan dihargai juga termasuk dalam Relatedness yang meliputi kebutuhan terhadap penghargaan, berhubungan dengan kebutuhan untuk diakui, dihargai, dipercayai, dan dihormati oleh orang lain.
c. Growth
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri atau aktualisasi diri yang mencakup kebutuhan untuk memperoleh kesempatan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan, kedudukan, prestasi atau keberhasilan, kegiatan berusaha, dan penampilan diri.
4. Pengawasan (controlling)
Pengawasan (controlling) menurut Longenecher (1973: 513) adalah aktivis yang berkaitan dengan kegiatan penilikan, yang sedang berlangsung, peraturan-peraturan yang sedang dan harus dilaksanakan oleh setiap orang yang terlibat dalam organisasi, kelemahan-kelemahan pelaksanaan, dan cara-cara yang digunakan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Sedangkan Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1985: 29) menegaskan bahwa pengawasan adalah upaya memperbaiki kegiatan untuk memelihara agar pelaksanaan dan hasil kegiatan yang dicapai sesuai dengan rencana.
Pengawasan dilakukan untuk mengetahui kecocokan dan ketepatan kegiatan yang dilaksanakan dengan rencana yang telah disusun. Selain itu, pengawasan dimaksudkan untuk memperbaiki kegiatan yang menyimpang dari rencana, mengoreksi penyalahgunaan aturan dan sumber-sumber, serta untuk mengupayakan agar tujuan dapat dicapai seefektif dan seefisien mungkin. Pengawasan dilaksanakan terhadap sebagian atau seluruh unsur yang terlibat dalm organisasi. Tanpa pengawasan yang teratur, maka pengelola tidak akan dapat mengetahui dengan pasti tentang daya guna dan hasil guna suatu kegiatan dalam mengimplementasikan rencana (Sudjana, 2000: 230-231). Longenecher menambahkan, bahwa penggunaan fungsi pengawasan adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan, membandingkan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan, dan memperbaiki program (1973: 514).
Langkah-langkah pokok dalam melakukan pengawasan menurut Sudjana (2000: 233) dirumuskan sebagai berikut:
a. menetapkan tolak ukur mengenai hasil pencapaian tujuan dan kegiatan. Dalam menyusun tolak ukur ini, Filppo dan Musinger (1975) mengatakan bahwa pengelola atau pengawas perlu mempertimbangkan komponen-komponen utama organisasi seperti sumber daya manusia, tugas-tugas, saran fisik dan kegiatan.
b. Mengukur penampilan pelaksana dalam melakukan kegiatan. Pengawasan dapat dilakukan dengan meninjau kegiatan yang telah dilakukan dan dengan memantau kegiatan yang sedang dilaksanakan. Pengawasan dapat melakukan upaya ini melalui observasi langsung atau melalui pertemuan antar pengawas dengan para pelaksana kegiatan.
c. Membadingkan penampilan dengan tolok ukur yang telah ditetapkan. Dalam melakukan perbandingan ini, Ralp C. Davis mengajukan empat langkah, yaitu: (1) memperoleh informasi, (2) menggabungkan, mengklasifikasi, dan menyajikan informasi; (3) melakukan evaluasi berkala terhadap kegiatan yang sedang dilakukan; (4) melaporkan kenyataan kegiatan yang terjadi pada pihak yang berkepentingan.
d. Memperbaiki kegiatan, apabila dipandang perlu sehingga kegiatan sesuai dengan rencana. Jika upaya perbaikan memang diperlukan, maka kegiatan selanjutnya adalah mengembalikan jalannya kegiatan itu kepada yang seharusnya terjadi, atau menemukan dan melaksanakan alternatif kegiatan yang cocok untuk mengatasi hambatan yang tidak tertelakkan. Perbaikan ini dapat dilakukan dengan cepat dan mendasar pada saat kegiatan itu tengah berlangsung.
Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap pengawasan ini, menurut Sudjana (2000: 245-246) ada dua macam, yaitu pendekatan langsung (direct contact) dan/atau pendekatan tidak langsung (indirect contact). Pendekataa langsung dilakukan melalui tatap muka, melalui kegiatan diskusi, rapat, tanya jawab, kunjungan laporan, kunjungan rumah, dan lain sebagainya. Pendekatan ini sering digunakan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi/lembaga yang relatif kecil atau sederhana dan wilayah kegiatannya masih terbatas.
Sedangkan pendekatan kedua dilakukan melalui media masa seperti petunjuk tertulis, korespodensi, penyebaran bulletin, radio, kaset, dll. Pendekatan ini dilakukan apabila pengawasan diselenggarakan dalam organisasi yang besar, dan wilayah kegiatannya luas, dan tugas-tugas pimpinan lebih banyak yang tidak memungkinkan untuk melakukan pendekatan langsung. Pendekatan ini biasanya dilaksanakan melalui mekanisme pengawasan berstruktur, dalam arti dilakukan secara bertingkat sesuai dengan struktur organisasi. Mekanisme ini sering didasarkan atas laporan dari instansi atau pelaksana lebih rendah kepada instansi/pimpinan di tingkat lebih tinggi secara hierarkis.
Penilaian terhadap suatu program termasuk program inovasi pendidikan, berkaitan erat dengan monitoring, yaitu kegiatan untuk mengikuti program dan pelaksanaanya secara mantap dan terus-menerus dengan cara mendengar, melihat dan mengamati, dan mencatat keadaan serta perkembangan program tersebut (Sudjana, 2000: 253-254). Monitoring dilakukan terhadap komponen-komponen program, sehingga berbeda dengan supervisi yang dilakukan terhadap pelaksanaan program, dan pengawasan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengelola program.
5. Penilaian (Evaluation)
Paul (1976: 17) memberi arti bahwa “evaluation is the systematic process of judging the worth, desirability, effectiveness, or adequacy of something according to definitive criteria and purposes”. Dalam pengertian ini dikemukakan bahwa penilaian adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, efektifitas, atau kecocokan sesuatu sesuai dengan efektifitas dan tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan Worthen dan Sanders (1973: 20) memberi definisi “Evaluation as procces of identifying and collecting information to assist decision makers in closing among available decision alternatives”. Pengertian ini menjelaskan bahwa penilaian merupakan proses mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi untuk membantu para pengambil keputusan dalam memilih alternatif keputusan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Anderson (1978: 270), penilaian terhadap program mempunyai tujuan, yaitu:
a. memberi masukan untuk perencanaan program;
b. memberi masukan untuk keputusan tentang kelanjutan, perluasan, dan penghentian (sertifikasi) program;
c. memberi masukan untuk keputusan tentang modifikasi program;
d. memperoleh informasi tentang pendukung dan penghambat pelaksanaan program;
e. memberi masukan untuk memahami landasan keilmuan bagi penilaian.
Aspek yang dinilai dalam penilaian menurut Mappa (1984) ada dua hal, yaitu: (1) komponen program yang meliputi masukan, proses, dan hasil program; (2) penyelenggaraan program yang mencakup kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan dan pembinaan, efisiensi ekonomik, dampak dan keseluruhan program. Sedangkan Arief (1987), berpendapat, bahwa aspek yang dinilai tersebut meliputi masukan lingkungan (environmental input) baik lingkungan sosial budaya maupun alam, masukan sarana (instrumental input) yang meliputi tujuan, pelaksanaan, fasilitas, dan pembiayaan; (3) masukan mentah (raw input); proses, keluaran (output); masukan lain (other input), dan pengaruh (outcome).
Metode yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian terhadap inovasi pendidikan, menurut Sudjana (2000: 285-310) adalah:
a. metode eksperimen sungguhan dan eksperimen semu, digunakan apabila penilai ingin mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang efektifitas suatu program atau komponen dan mengharapkan tamuannya dapat memberikan kontribusi mendasar bagi ilmu pengetahuan;
b. metode korelasi, digunakan dalam beberapa situasi yang bermanfaat untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai dua variabel atau lebih semisal korelasi antara pembiayaan dengan efektifitas program;
c. survey, digunakan untuk menjajagi, mengumpulkan, menggambarkan, menerangkan sasaran atau obyek program yang dievaluasi. Metode ini tidak mengharuskan untuk selalu mencari atau menjelaskan hubungan-hubungan, mentes hipotesis, membuat prediksi atau mencari makna dan implikasi.
d. Asesmen, biasanya dilakukan melalui pola eksperimen sungguhan atau eksperimen semu yang bertujuan untuk menghimpun inforasi tentang kompetensi pelaksanaa dan karakteristik program inovasi pendidikan yang perlu berubah/tidak sejalan dengan pencapaian tujuan program;
e. keputusan ahli secara sistematik, yang diperlukan apabila kegiatan evaluasi mencakup pelbagai aspek/komponen program yang kondisinya bervariasi. Cara ini terutama dilakukan jika suatu program dilakukan dan dibiayai oleh lembaga tertentu;
f. studi kasus sebagai analisis dan deskripsi secara mendalam serta terinci tentang suatu organisasi, lembaga pelaksana inovasi pendidikan atau fenomena di dalamnya. Studi kasus digunakan dalam situasi tertentu terutama tatkala fenomena yang akan dievaluasi bersifat global. Misalnya, dalam penilaian efektifitas keorganisasian lembaga, maka tugas para penilai melakukan asesmen tentang keefektifitasan keorganisasian lembaga tersebut;
g. pengamatan (kesaksian), yang merupakan induk dari pelbagai perencanaan dan evaluasi setiap program tetapi bukan merupakan metode penilaian yang jitu, melainkan hanya sebagai metode yang mendekati kejituan penilaian.
Daftar Rujukan Lihat DI SINI
Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Konsep Manajemen Inovasi Pendidikan"
Posting Komentar